Para pakar mengatakan kepada VOA bahwa deportasi yang dilakukan Thailand bulan lalu terhadap enam aktivis Kamboja menunjukkan, Thailand terus berperan dalam “penindasan transnasional”, koordinasi antar pemerintah yang menarget para pembangkang di luar negara mereka.
Pihak berwenang memulangkan Pen Chan Sangkream, Hong An, Mean Chanthon, Yin Chanthou, Soeung Khunthea dan Vorn Chanratchana bulan lalu.
Empat perempuan dan dua laki-laki itu didakwa oleh Kamboja dengan tuduhan membangkang, karena memuat pernyataan di media sosial yang mengecam kebijakan Kamboja mengenai Perjanjian Kawasan Segitiga Pembangunan Kamboja-Laos-Vietnam, atau CLV-DTA, yang telah berlangsung 20 tahun. Pembangunan itu bertujuan untuk memudahkan perdagangan dan migrasi di antara ketiga negara itu, tulis kantor berita Associated Press.
Mereka kini ditahan di fasilitas terpisah dalam penahanan pra-persidangan di Kamboja, dan akan diadili atas dakwaan yang bisa dijatuhi hukuman penjara jangka panjang, menurut Radio Free Asia.
Keenam aktivis itu adalah pendukung Partai Penyelamat Nasional Kamboja, partai oposisi yang dilarang dan telah hijrah ke Thailand pada tahun 2022.
Tiy Chung, juru bicara regional Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) , memastikan kepada VOA melalui email
bahwa keenam pembangkang itu telah dideportasi dan “situasi mereka dikhawatorkan.”
UNHCR, katanya, “sangat prihatin” dengan pendeportasian tersebut, yang termasuk seorang anak, katanya. Hal itu bertentangan dengan kewajiban Thailand untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang diusir atau dipulangkan ke suatu tempat di mana nyawa atau kebebasan mereka terancam.
“Kami meminta penjelasan mendesak dari pihak berwenang Thailand mengenai deportasi itu dan mendesak mereka untuk menghormati hukum Thailand dan kewajiban internasional mereka, guna mencegah tindakan serupa pada masa depan,” tulisnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Kamboja menindak keras para pengecamnya di dalam dan di luar negeri. Protes-protes yang direncanakan terhadap perjanjian CLV-DTA itu berdampak pada penangkapan sedikitnya 100 aktivis pada September, yang menuduh Phnom Penh menyerahkan sebagian wilayah Kamboja, meskipun pada bulan yang sama Perdana Menteri Kamboja Hun Manet mengumumkan, Kamboja akan menarik diri dari perjanjian yang telah berusia puluhan tahun itu. [ps/ab]