Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, dokter I Komang Adi Sudjendra, mengungkapkan dibutuhkan kerja sama semua pihak untuk menangani penyakit Schistosomiasis atau demam keong. Keterlibatan semua pihak dibutuhkan utamanya untuk melakukan rekayasa lingkungan di lokasi fokus keong, serta mengendalikan jumlah telur cacing di alam, yang berasal dari tinja hewan liar seperti tikus, dan hewan ternak mamalia seperti sapi dan kerbau yang tidak dikandangkan.
Telur cacing yang menetas di air tawar yang tergenang, akan kembali memasuki hospes perantara yaitu siput atau keong oncomelania hupensis lindoensis, yang merupakan hewan endemik di Sulawesi Tengah.
“Untuk memberantas semua itu perlu (keterlibatan) lintas sektor terkait, dari (dinas) peternakan untuk urusan hewannya,... jadi kalau ada daerah rawa-rawa itu dia alirkan supaya lancar, nah itu melibatkan instansi lainnya misalnya PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) supaya irigasi pengairan, kalau lahan-lahan kosong, lahan-lahan yang potensi untuk terjadinya pertumbuhan keong itu dibuka oleh Dinas Pertanian” kata I Komang Adi Sudjendra, pada Sabtu (11/2), ketika ditemui VOA di Puskesmas Maholo, Lore Timur.
Menurut catatan dinas kesehatan setempat, sebanyak 257 warga masyarakat di Kabupaten Poso dan Sigi terinfeksi penyakit tersebut pada tahun 2022.
Gaung Schistosomiasis Lemah di Lintas Kementerian
Secara terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Poso, dokter Taufan Karwur mengungkapkan dukungan lintas sektor untuk penanganan Schistosomiasis masih kurang. Penyakit yang hanya ditemukan di provinsi Sulawesi Tengah itu, masih dianggap sebagai permasalahan di daerah semata.
“Gaung Schisto di luar Kementerian Kesehatan itu kurang kedengaran, kecil gaungnya, jadi lintas kementerian itu kadang mereka sangat-sangat irit bahkan tidak mau untuk mengalokasikan anggaran untuk Schisto, mereka menganggap itu bukan hal prioritas, kalau di luar Kementerian Kesehatan. Kalau di Kemenkes yah ini memang diperhatikan,” ungkap Taufan ketika dihubungi VOA, pada Rabu (1/2).
Pencegahan penyakit Shistosomiasis di Sulawesi Tengah, menurut Taufan Karwur, harus dilakukan secara terpadu dan terarah yang difokuskan pada penanganan area fokus keong, dengan pembangunan saluran irigasi dan pemanfaatan lahan tidur untuk kegiatan pertanian.
“Harus benar-benar di lokasi fokus supaya ada kontribusi untuk mengurangi masalah Schisto ini,” tegas Taufan Karwur.
Kementerian Kesehatan menyatakan demam keong sebagai penyakit zoonotik, dan program pencegahan dan pengendalian schistosomiasis merupakan program yang membutuhkan integrasi dari banyak pemangku kepentingan dalam menjalankan pengawasan, pengobatan, pemberantasan keong positif, rekayasa lingkungan, penyediaan sistem sanitasi dan air bersih, serta manajemen penggembalaan ternak.
Membatasi Aktivitas Petani
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Poso pada tahun 2019, setidaknya terdapat 269 lokasi fokus keong yang tersebar di 23 desa di wilayah Kecamatan Lore Utara, Lore Timur, Lore Piore, Lore Tengah dan Lore Selatan.
Dari pemantauan VOA pada Sabtu (11/2), di lokasi fokus keong terdapat papan peringatan agar masyarakat menggunakan alat pelindung diri dengan menggunakan sepatu boot saat beraktivitas di area tersebut.
Sekretaris Desa Kalemago, Kecamatan Lore Timur, Otniel Papunde mengungkapkan para petani sering kali sulit mematuhi anjuran tersebut karena sepatu boot dianggap membatasi pergerakan mereka saat mengolah sawah.
“Tidak maksimal itu, para petani kan tidak mungkin mengolah sawah memakai sepatu boots, kecuali kalau lewat saja bisa, tetapi kalau yang bekerja begitu tidak maksimal,” kata Otniel.
Ia menambahkan keberadaan delapan lokasi fokus keong di desa Kalemago telah membatasi aktivitas masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai petani kebun dan sawah. Ia mengatakan sepanjang tahun 2022, sebanyak delapan warga di desa itu terinfeksi penyakit schistosomiasis termasuk di antaranya anak-anak.
Putu Novayanti, petani perempuan asal desa Mekar Sari Lore Timur, mengungkapkan selalu merasa khawatir saat beraktivitas di sekitar lokasi fokus keong, sehingga selalu menggunakan alat pelindung diri dengan menggunakan sepatu boot.
“Sangat mengkhawatirkan apalagi kita sebagai petani di sini sangat takut apalagi penyakitnya itu tidak kelihatan, gejalanya juga jarang terdeteksi, baru obatnya juga jarang ada,” ungkap Putu Novayanti, saat mengantar putranya yang berusia 9 tahun untuk mendapatkan pengobatan schistosomiasis di Puskesmas Maholo pada Sabtu (11/2).
Seperti warga lainnya di wilayah itu, Putu berharap permasalahan penyakit demam keong dapat segera tertangani agar tidak ada lagi kasus infeksi kepada manusia di wilayah itu. [yl/rs]
Forum