Tautan-tautan Akses

Din Syamsudin: Dialog Antar-Umat Beragama Tetap Perlu


Demonstrasi terkait rencana pembangunan Islamic Center yang akan dibangun di dekat lokasi peristiwa 11 September, 2001. (foto dok Agustus 2010).
Demonstrasi terkait rencana pembangunan Islamic Center yang akan dibangun di dekat lokasi peristiwa 11 September, 2001. (foto dok Agustus 2010).

Meski masih ada beberapa masalah, dialog seperti US-Interfaith Cooperation Forum ini perlu dilakukan untuk menetralisir ketegangan antar umat beragama.

Sejumlah tokoh agama Indonesia diundang untuk menghadiri US-Interfaith Cooperation Forum dari tanggal 30 November hingga 3 Desember 2010 di New York dan Washington DC. Salah satu yang hadir adalah ketua Muhammadiyah, Dr. Din Syamsudin. Berikut wawancara wartawan VOA, Eva Mazrieva di Washington DC dengan Dr. Din Syamsudin tentang dialog antar umat beragama.

Eva Mazrieva:
"Forum ini sudah dua kali menyelenggarakan pertemuan dengan beragam kegiatan, tapi aksi kekerasan berlatar belakang agama masih terus terjadi. Menurut bapak, apakah ini dikarenakan forum dialog semacam ini masih bersifat elitis, belum melibatkan semua tokoh. Bahkan tidak pernah mengajak tokoh-tokoh radikal yang memang kerap memicu konflik. Nah, apakah berarti forum semacam ini gagal?"

Dr. Din Syamsudin:
"Saya berpendapat forum seperti ini selalu ada manfaatnya. Kalaupun masih terjadi masalah, baik ketegangan maupun konflik, ini tidak berarti kegagalan dari forum ini. Bahkan bisa saya katakan: 'Sudah ada dialog aja masih ada konflik, apalagi gak ada'. Tapi patut saya akui kalau forum seperti ini memang masih ada masalah, yaitu (1) Masih elitis. Baru terjadi di antara tokoh beragama, tapi belum terjadi di akar rumput. (2) Baru membahas masalah yang bersifat normatif dan belum menyentuh masalah yang ada di masyarakat. (3) Masih bersifat terbatas, belum melibatkan kelompok garis keras atau mereka-mereka yang terlibat dalam penyelesaian masalah. Yang banyak terlibat dalam dialog adalah kalangan moderat, sehingga kalau bertemu tidak ada masalah. Tapi begitu keluar justru menghadapi masalah. Karena kalangan fundamentalis atau radikal tidak ikut serta. Dengan catatan-catatan ini, saya selalu menganjurkan ke depan selalu buat 'Dialog Dialogis' yang berorientasi pada kesungguhan, keterbukaan, keterusterangan dan untuk memecahkan masalah. Dialog tetap diperlukan. Dialog antar tokoh agama Amerika dan Indonesia ini punya makna penting, terutama dalam rangka menetralisir. Harus diakui ada semacam phobia sebagai akibat peristiwa 9/11 dan cara Amerika menanganinya dengan 'War of Terror' yang memunculkan orientasi anti Amerika. Sementara di sisi lain ada pula 'Islamic Phobia' dikalangan masyarakat Amerika dan Eropa. Maka ini harus diatasi. Forum dialog antar tokoh Islam dengan pihak Barat diharap bisa menetralisir masalah tersebut.

Eva:
"Setujukah Anda jika implementasi dari forum semacam ini juga segera melibatkan anak muda? Terutama agar mereka jadi tidak tertarik pada radikalisme yang marak akhir-akhir ini."

Dr. Syamsudin:
"Ya, saya setuju. Harus melibatkan generasi penerus. Karena diseminasi atau persebaran wawasan moderat, harmoni, dan lain-lain ini harus berlanjut. Tapi tidak sekedar menyasarkan anak muda saja, tapi juga seluruh pihak. Ini perlu lewat pendidikan. pendidikan adalah sarana strategis, sehingga perlu ada re-orientasi pendidikan nasional dibanyak negara agar memberikan nilai perdamaian, budaya kerukunan, dan hidup berdampingan. Tapi juga tidak hanya pendidikan di sekolah, tapi juga keluarga. Orang tua perlu mengorientasikan putra-putrinya untuk senantiasa hidup secara damai."

Eva:
"Agama paling gampang disalah gunakan untuk berbagai kepentingn, termasuk kepentingan politik. Bagaimana menghindari penyalahgunaan agama justru oleh negara atau lembaga-lembaga resmi negara? Pernah muncul kontroversi atas 11 Fatwa MUI, atau UU Anti Penodaan Agama. Bagaimana pandangan bapak atas hal-hal itu?"

Dr. Syamsudin:
"Saya kira untuk konteks Indonesia, saya selaku salah satu tokoh umat Islam menilai tetap perlu ada pengaturan dan keterlibatan negara. Agama lain tidak menganggapnya perlu. Keterlibatan negara ini bukan pada dimensi teologis atau keyakinan. Kalau pada hal-hal ini negara tidak boleh ikut campur. Negara boleh ikut campur pada upaya mengatasi dimensi sosial dalam hubungan antar umat beragama. Karena agama-agama, terutama yang disebut 'Agama Samawi', punya watak menyebarkan diri. Maka di Islam ada istilah 'Dakwah', di Kristen ada istilah 'Mission'. Jika ini dilakukan dengan prinsip kebebasan semata, maka konflik tak terhindari. Maka perlu pengaturan. Idealnya pengaturan dilakukan dengan etika bersama, dengan kesepakatan antar umat beragama. Ini hanya satu cara untuk menghindari konflik. Karena jika diserahkan pada 'Pasar Bebas' dengan logika kebebasan, atas dasar kebebasan beragama, maka akan menimbulkan konflik. Cara mengatasi konflik ini yang harus dipikirkan bersama. Bukan membatasi agama. Dan yang terpenting, negara tidak boleh ikut campur dalam urusan teologi atau keyakinan beragama.

XS
SM
MD
LG