“Karena banjir, pasokan air tercemar. Ada banyak sampah di saluran pembuangan limbah dan tinja di air. Jadi, instalasi pengolahan air terkontaminasi, yang memengaruhi seluruh air di Montgomery County,” kata Bradley Johannes, mahasiswa tahun pertama Virginia Tech di kota Blacksburg, Virginia.
Kota tersebut berada dalam wilayah county (kabupaten) Montgomery, yang terkena bagian ekor Helene, badai kategori 4, pada Jumat, 27 September.
Akibatnya, kata Bradley yang tinggal di asrama dalam kampus, air yang mengalir tidak bisa langsung digunakan untuk mandi, apalagi diminum. Pihak kampus sendiri mengeluarkan Boiled Water Advisory (Imbauan Merebus Air) yang masih diberlakukan hingga 12 Oktober.
Orang-orang diimbau untuk merebus air terlebih dulu sebelum menggunakannya untuk mandi. Sedangkan untuk minum, mahasiswa mendapat jatah pembagian air minum sebanyak dua botol setiap hari dan masing-masing satu setiap kali makan di dining hall atau kafetaria kampus.
Namun sayang, pemberitahuan awal mengenai air yang tercemar baru dikirim belakangan melalui email, kata Bradley. Sejumlah orang telanjur minum sehingga mereka jatuh sakit, mengalami sakit perut dan diare. Beberapa temannya juga memberitahu bahwa mereka mengalami jerawat dan ruam kulit karena telanjur mandi seperti biasa. Ada juga laporan lainnya mengenai infeksi telinga, mata dan kulit.
Diaspora Indonesia saling dukung
Di bagian utara Virginia, dua ibu yang anak mereka kuliah di perguruan tinggi yang sama, awalnya menghadapi berita mengenai badai dengan perasaan khawatir. Lea Johannes, ibunda Bradley, tidak mengira wilayah kampus anaknya terdampak badai. Melalui media sosial para orang tua mahasiswa seangkatan Bradley, ia baru tahu tentang masalah air di sana.
“Saya hubungi anak saya, ternyata dia tenang. Akhirnya saya ikut tenang juga,” kata Lea yang setiap hari menelepon putranya untuk mengetahui kondisi terbaru. Selain persediaan air dan teman-teman anaknya yang sakit, masalah makanan juga membuatnya prihatin. Tidak semua kafetaria kampus buka, jam operasinya pun lebih pendek karena air bersih masih langka. Untuk mengatasi itu, Lea bahkan sempat meminta anaknya agar meminta izin dosen untuk mengikuti kuliah secara daring dari rumah.
Sementara itu Helen Sidjabat mengunjungi anaknya, Geraldine, juga mahasiswa tahun pertama di Virginia Tech, sehari setelah badai karena memang telah menjadwalkan kunjungan itu.
Berkendara lebih dari dua jam, Helen menyaksikan pohon-pohon tumbang bahkan tercerabut dari akarnya di sekitar asrama anaknya. Ia membawakan berbagai pesanan putrinya, termasuk cukup banyak persediaan air minum botolan. Sikap putrinya yang terlihat tenang membuat Helen tidak merasa khawatir lagi.
Solusi juga datang dari sesama ibu diaspora Indonesia yang terbiasa selalu saling dukung, ujar Helen. “Saya, Lea, Eva, Neni, kita saling keep in touch. Dua minggu sebelumnya Lea ke sana. Saya menitipkan air. Sabtu lalu saya ke sana, saya yang membawakan air dan makanan. Saya tawarkan Eva juga waktu itu. Sabtu berikutnya, Neni ke sana membawa air 10 cases untuk anak-anak kita di sana. Mereka membawa dua mobil ke sana untuk mengantarkan air,” kata Helen.
Bersiap hadapi badai lagi
Di negara bagian Georgia, Nuurin Aulia hanya dapat berkabar dengan orang tuanya di Indonesia ketika badai datang. Mahasiswa S2 tahun pertama untuk program studi Ilustrasi di Savannah College of Art and Design itu mengatakan orang Indonesia di kotanya, Savannah, bisa dihitung dengan jari. Nuurin mengaku ia tidak saling berkabar dengan mereka.
Nuurin sudah menerima pemberitahuan dini mengenai badai sejak Kamis (26/9) malam. Selanjutnya ia mendapat pemberitahuan melalui SMS dan suara sirene peringatan. Sempat berlindung di kamar mandi sesuai pedoman bila terjadi badai, ia dan teman-teman di asramanya kemudian pindah ke dapur ketika badai terus menggetarkan jendela dan lantai.
Nurin mengaku beruntung tinggal di asrama dalam kampus. Ia tidak mengalami pemadaman listrik hingga berhari-hari.
“Mungkin karena aku tinggal di kampus jadi lebih diprioritaskan. Teman-temanku yang tinggal off campus tidak mendapat listrik sampai Sabtu sore jam 5,” jelas Nuurin. Sejumlah temannya bahkan ada yang mengabarkan mereka mengalami pemadaman hingga Selasa. Sementara itu, perkuliahan yang dihentikan sejak Kamis, dimulai lagi pada hari Selasa.
Pedoman lain yang ia ikuti adalah menyimpan cadangan makanan. Sebelum Helene menerjang, ia membeli makanan kaleng, minuman botolan untuk persediaan selama lima hari. Ia kini sudah menyiapkan makanan cadangan lagi karena ada perkiraan badai lainnya, Milton, segera terjadi.
Masa depan diaspora Indonesia
Negara bagian lain yang mengalami kerusakan dahsyat akibat terjangan Helene adalah North Carolina. Tara Boestan tinggal di Swannanoa, tetangga kota Asheville, yang sama-sama mengalami kehancuran besar. Banyak rumah dan mobil hancur tertimpa pohon tumbang. Mobil-mobil yang hanyut saling tumpuk, bahkan mobil trailer yang biasanya tahan goncangan pun jungkir balik diterjang angin sangat kencang.
Ketika Tara dihubungi Senin (7/10), sepuluh hari setelah badai, listrik mulai pulih di sebagian kota. Antrean di pom bensin tidak lagi ada. Satu-satunya swalayan besar di kota itu masih tutup karena sedang dibersihkan dari lapisan lumpur tebal. Restoran tetap tutup karena tidak ada air yang mengalir. Warga kota Swannanoa masih banyak yang mengandalkan air minum dan makanan sumbangan di sejumlah pusat bantuan.
“Beberapa daerah sudah tidak kelihatan lagi, hancur. Pemulihannya bakalan panjang sekali, karena banyak sekali rumah yang rusak,” jelasnya.
Dua organisasi nirlaba besar, World Central Kitchen dan Samaritan’s Purse, datang memberikan bantuan ke Asheville dan sekitarnya. Mereka membawa banyak barang bantuan dan sukarelawan, kata Tara yang ikut mengoordinasikan bantuan di salah satu pusat bantuan. Samaritan’s Purse juga menyediakan bantuan air untuk mandi dan mencuci baju, lanjut Tara yang sehari-hari bekerja di Homeward Bound, organisasi nirlaba yang membantu tuna wisma mendapatkan tempat tinggal lagi.
Ia aktif menghubungi diaspora Indonesia di sekitarnya melalui telepon maupun media sosial untuk mengetahui kondisi mereka. Yang paling membuatnya prihatin adalah masa depan banyak diaspora Indonesia di sana.
“Mayoritas orang Indonesia yang ada di sini bekerja di restoran, saya bisa bilang 75 persen bekerja di restoran. Sementara restoran banyak yang tutup sekarang,” jelasnya. Ia memperkirakan ada lebih dari 100 orang diaspora Indonesia yang bermukim di Swannanoa dan Asheville, yang menarik banyak wisatawan karena keberadaan kastil Biltmore di sana.
Tara baru-baru ini mengundang beberapa staf KBRI Washington untuk melihat langsung kehancuran di kotanya dan bertemu diaspora Indonesia di sana. Tetapi ia mengaku belum dapat memberi solusi bagi diaspora yang terdampak badai selain memberikan tautan ke lembaga pemberi bantuan atau mengoordinasikan pengumpulan barang-barang yang diperlukan.
Dengan korban tewas melebihi 200 orang dan lebih banyak lagi yang belum ditemukan, Helene disebut-sebut sebagai badai paling mematikan yang menerjang daratan Amerika Serikat, setelah Katrina pada tahun 2005. Katrina menewaskan hampir 1.400 orang dan menyebabkan kerusakan senilai $125 miliar. [uh/ab]
Forum