Sejumlah saksi mata mengatakan aksi kekerasan berkobar di kota Nyala, di bagian barat Sudan, dan di tempat-tempat lain di negara bagian South Darfur pada hari Minggu (13/8), yang diperkirakan dapat bergulir menjadi perang yang berlarut-larut di kawasan itu.
Konflik ini telah menimbulkan pertempuran setiap hari di jalan-jalan ibukota Khartoum, munculnya kembali serangan-serangan yang menarget etnis tertentu di West Darfur, dan pengungsian lebih dari 4 juta orang di dalam Sudan dan melintasi perbatasannya ke Chad, Mesir, Sudan Selatan dan negara-negara lain.
Bentrokan antara tentara Sudan dan kelompok paramiliter Pasukan Pendukung Cepat (Rapid Support Forces/RSF) telah berkobar secara berkala di Nyala, kota terbesar kedua di negara itu yang sekaligus lokasi strategis di wilayah Darfur yang rapuh.
Beberapa saksi mata mengatakan kepada Reuters, pertikaian terakhir telah berlangsung selama tiga hari, di mana tentara dan RSF menembakkan artileri ke lingkungan pemukiman penduduk. Pertempuran telah merusak jaringan listrik, air dan telekomunikasi.
Menurut Darfur Bar Association, sebuah lembaga pemantau hak asasi manusia, sedikitnya delapan orang tewas pada hari Sabtu saja (12/8).
Beberapa saksi mata mengatakan pertempuran dalam beberapa hari terakhir ini telah meluas hingga 100 km ke arah barat Nyala, di daerah Kubum, menewaskan puluhan orang.
Asosiasi pengacara mengatakan sejumlah anggota suku Arab yang dilengkapi dengan kendaraan RSF menyerang daerah tersebut, membakar pasar dan menyerbu kantor polisi dalam sebuah serangan terhadap suku Arab yang menjadi saingannya. Pertempuran itu menewaskan 24 orang.
Beberapa suku Arab telah menyatakan kesetiaan pada RSF.
Asosiasi pengacara itu menyerukan kepada “seluruh elemen untuk tidak terjerumus dalam konflik yang tujuannya adalah meraih kekuasaan di pusat negara.”
Meta Jumat lalu (11/8) memblokir akun resmi RSF di Facebook karena melanggar “kebijakan tentang individu dan organisasi berbahaya.”
Pertempuran yang terus meluas di daerah itu berisiko membuat Darfur kembali ke era serangan berdarah pada awal tahun 2000-an ketika milisi “Janjaweed” – yang menjadi cikal bakal RSF – membantu tentara menumpas pemberontakan yang sebagian besar dilakukan oleh kelompok-kelompok non-Arab.
PBB memperkirakan sekitar 300.000 orang tewas ketika itu, dan para pemimpin Sudan dikejar oleh Pengadilan Kriminal Internasional atas tuduhan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Perwakilan khusus PBB Untuk Sudan, Volker Perthes, Juli lalu memperingatkan bahwa konflik ini tidak menunjukkan tanda-tanda penyelesaian yang cepat dan "berisiko berubah menjadi perang saudara."
Upaya mediasi diplomatik sejauh ini gagal, dan gencatan senjata telah digunakan oleh kedua belah pihak untuk mengkonsolidasikan kekuatan. [em/lt]
Forum