Tautan-tautan Akses

Corona Yogya: Kasus Melonjak, Kekurangan Nakes, dan Dominasi Pasien Muda


Tim TRC BPBD DIY berdoa usai memakamkan warga dengan standar COVID-19 di Yogyakarta, 26 Mei 2020. (Foto courtesy: TRC BPBD DIY)
Tim TRC BPBD DIY berdoa usai memakamkan warga dengan standar COVID-19 di Yogyakarta, 26 Mei 2020. (Foto courtesy: TRC BPBD DIY)

Seperti Jawa Tengah yang dinilai menjadi episentrum baru kasus positif corona di Indonesia, Yogyakarta sebagai provinsi tetangga juga bernasib sama. Beberapa rekor baru terus tercatat dalam statistik, seperti kasus terbanyak, jumlah pasien meninggal tertinggi, hingga penggunaan ruang kritikal mendekati jumlah maksimal.

Kepala Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pembajun Setyaningastutie, menyebut ada tiga klaster utama penyumbang banyaknya kasus ini.

“Di dalam satu minggu terakhir kenaikan kasus kita sangat tinggi, 646 kasus, ini kita sudah sampai minggu ke-37. Kasus yang meningkat ini bisa terdeteksi, yang pertama memang ada klaster pesantren, kemudian klaster perkantoran, dan yang berikutnya juga adalah klaster keluarga mulai semakin banyak,” kata Pembajun.

Kasus positif Covid 19 DIY menurut kelompok umur. (Sumber: Dinkes DIY)
Kasus positif Covid 19 DIY menurut kelompok umur. (Sumber: Dinkes DIY)

Pembajun memaparkan sejumlah data dalam diskusi mingguan Sambatan Jogja (Sonjo) Angkringan, Minggu (29/11). Angka yang menonjol di Yogyakarta belakangan ini antara lain didominasi oleh pasien usia produktif. Dia menduga, anak muda yang aktif di luar rumah mengalami penularan, dan membawa virus ini ke lingkungan keluarga. Ini dibuktikan, 46 persen kasus muncul karena tracing kontak kasus positif.

Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) merekomendasikan positive rate kurang dari 5 persen untuk sebuah wilayah bisa beroperasi kembali, sementara Yogyakarta pekan ini mencatatkan angka 6,2 persen. Angka kasus positif harian juga meningkat drastis, dengan angka maksimal bisa mencapai 170 kasus lebih dalam sehari.

“Yang sangat memprihatinkan, saat ini hampir setiap hari ada kasus kematian,” tambah Pembajun.

Dari sisi layanan, Yogyakarta juga memasuki angka kritis terkait ketersediaan tempat tidur rumah sakit (bed), baik yang kritikal maupun tidak. Pembajun melaporkan, pekan terakhir tercatat 90 persen bed non-kritikal terpakai dan 80 persen bed kritikal terpakai. Dari sisi angka, jumlah bed untuk pasien kritis saat ini hanya tersedia kurang dari 10. Kondisi ini bukan tanpa konsekuensi, sejak 5 November hingga saat ini, setidaknya ada 10 pasien meninggal karena tidak bisa dirujuk dan memperoleh layanan ICU yang selalu penuh.

Para tenaga medis mengenakan masker pelindung berdoa untuk para pasien virus corona (Covid-19) saat pengarahan di ruang gawat darurat di rumah sakit, 14 Mei 2020. (Foto: Reuters)
Para tenaga medis mengenakan masker pelindung berdoa untuk para pasien virus corona (Covid-19) saat pengarahan di ruang gawat darurat di rumah sakit, 14 Mei 2020. (Foto: Reuters)

Yogyakarta juga mengalami kekurangan tenaga kesehatan (nakes). Permintaan tenaga tambahan sebanyak 200 nakes sudah disampaikan ke Kementerian Kesehatan.

“Kementerian Kesehatan sudah berkenan membantu, tetapi dengan catatan ada fasilitas yang disediakan DIY untuk tempat nakes ini beristirahat,” ujar Pembajun.

Sampai saat ini, Pemda DIY masih mencari fasilitas asrama atau hotel bagi nakes tambahan itu. Kesulitan penyediaan tempat istirahat ini yang membuat tambahan nakes dari Kemenkes belum dapat direalisasikan.

Mendekati Status Kritikal

Direktur Utama RSUP dr Sardjito Yogyakarta, Rukmono Siswishanto, mengakui saat ini rumah sakit mengalami beban ganda. Rumah sakit harus membagi nakesnya ke dua layanan, yaitu Covid dan non-Covid, sementara kasus di dua jenis layanan itu terus meningkat. Kenaikan jumlah pasien non-Covid, memaksa rumah sakit mengurangi nakes di layanan Covid. Buruknya, jumlah pasien Covid justru meningkat.

Beban lain, kata Rukmono, lonjakan kasus di DIY dan Jawa Tengah, ternyata secara tidak langsung mempengaruhi banyaknya petugas-petugas mereka yang tertular. Kondisi ini memperberat tugas mencukup nakes, karena rumah sakit dituntut tetap memberikan layanan terbaik.

Direktur RSUP dr Sardjito, Rukmono Siswishanto. (Foto: Courtesy/Humas RSUP Sardjito)
Direktur RSUP dr Sardjito, Rukmono Siswishanto. (Foto: Courtesy/Humas RSUP Sardjito)

“Memang sekarang ini, kekurangan fasilitas itu sudah mulai dekat. Jadi, kalau kita di dalam diskusi-diskusi selama ini dengan teman-teman di rumah sakit, itu kan membagi kapasitas mulai dari kapasitas konvensional, terus kontinjensi. Nah, sekarang ini sudah mau masuk ke kritikal,” kata Rukmono.

Dalam keterangan sebelumnya, ketika ditanya soal kapasitas rumah sakit, Rukmono menyebut status kritikal apabila pemakaian bed tersedia sudah mencapai 80 persen dari kapasitas. Sementara di DIY saat ini, kapasitas bed non-kritikal telah terpakai 90 persen, dan kritikal terpakai 80 persen.

Meski begitu, Rukmono memastikan rumah sakit di Yogyakarta masih bisa menjaga kualitas layanan. Kapasitas yang ada masih memungkikan mereka untuk memisahkan layanan bagi pasien Covid dan non-Covid. Dari sisi pembiayaan, masalah muncul karena banyak kasus layanan bagi pasien Covid yang tidak disetujui verifikator BPJS, dan ini diakui Rukmono menjadi masalah tersendiri

Kasus konfirmasi positif menurut riwayat penularan di DIY. (Sumber: Dinkes)
Kasus konfirmasi positif menurut riwayat penularan di DIY. (Sumber: Dinkes)

Rukmono mengakui ada masalah kekurangan nakes di Yogyakarta. Pelatihan bagi SDM baru juga tidak mudah, karena tidak semua memiliki pengalaman menangani pasien kritis.

“Di RS Hardjolukito itu ada 100 tempat tidur yang bisa disediakan, saat ini hanya separuhnya yang bisa kita pakai untuk melayani pasien Covid, karena tenaganya kurang,” ujarnya.

Rukmono mengingatkan, pengendalian di tingkat komunitas saat ini menjadi sangat penting di Yogyakarta. Jika itu gagal, bebannya akan diterima oleh rumah sakit

“Dan ini, untuk saat ini akan sangat mengkhawatirkan, kalau itu terjadi,” tambahnya.

Corona Yogya: Kasus Melonjak, Kekurangan Nakes, dan Dominasi Pasien Muda
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:29 0:00

Mobilisasi Dokter Dimungkinkan

Tri Widjaja, Ketua Satgas Penanggulangan Covid 19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Yogyakarta, menyebut mobilisasi dokter memang dimungkinkan. Misalnya, untuk membantu rumah sakit yang kekurangan nakes. Namun, semua hanya bisa terjadi apabila ada izin dari instansi di mana dokter itu bekerja saat ini. IDI Yogya sendiri saat ini memiliki 3.433 anggota, baik dokter umum maupun spesialis.

“Selain itu, harus dipertimbangkan, mobilisasi dokter pada masa pandemi itu berbeda dengan saat bencana alam. Karena ada faktor tertular atau tidak, ada jaminan kesehatan atau tidak,” kata Widjaja.

Selain itu, IDI Yogyakarta juga menilai perlu adanya kajian ulang mengenai keberadaan 27 rumah sakit rujukan. Ada wacana perlu dibangun rumah sakit khusus Covid-19, sedangkan rumah sakit lain sebagai pendukung. Untuk menekan kasus, pemerintah juga harus memperbaiki komunikasi, sehingga jelas kapan seorang pasien ada di shelter, dirawat di rumah sakit lapangan dan kapan harus ada di rumah sakit rujukan.

IDI sendiri telah mendorong Satgas di daerah bersama Pemda dan dinas kesehatan untuk menambah kapasitas rumah sakit. IDI juga mendorong relawan dokter bagi rumah sakit yang menangangi kasis ini. Namun, kalangan dokter juga meminta jam kerja lebih pendek, yaitu enam jam per hari untuk mengatasi kelelahan.

Agung Untoro, anggota Polisi dari Polda DIY yang menjadi donor plasma untuk pasien corona. (Foto: Humas RS Sardjito)
Agung Untoro, anggota Polisi dari Polda DIY yang menjadi donor plasma untuk pasien corona. (Foto: Humas RS Sardjito)

Pilkada Bisa Jadi Faktor

Wakil Ketua DPRD DIY, Huda Tri Yudiana, menyebut ada kontradiksi di tengah masyarakat yang terjadi. Ketika kasus meningkat drastis, tingkat kepedulian masyarakat justru anjlok. Kampanye kesadaran protokol kesehatan dinilai belum berhasil. Ditambah lagi, ada ada dua kegiatan besar yang berpotensi memperparah kasus Covid-19 di daerah.

“Ada kontradiksi kebijakan, terkait PIlkada. Desember besok ada dua event besar, Pilkada dan Pilkades (Pemilihan Kepala Desa). Pilkades ini lebih repot dari Pilkada karena lebih tidak teratur, yang menyelenggarakan panitianya desa,” kata Huda.

Pendekatan kebijakan, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), akan berdampak pada anggaran. Karena itu Yogyakarta tidak mengambil kebijakan itu, sebab keuangan daerah kecil. Sementara Peraturan Daerah yang akan memuat sanksi hukum bagi pelanggar protokol kesehatan baru dalam penyusunan. Kemungkinan awal tahun depan, Perda itu dapat disahkan agar ada kepastian hukum bagi masyarakat yang melanggar protokol kesehatan. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG