Pasukan militer China dan Rusia melangsungkan latihan bersama di China barat laut sementara hubungan antara kedua negara otokratis itu menguat di tengah ketidakpastian atas kestabilan di Afghanistan.
Latihan yang melibatkan angkatan darat dan angkatan udara itu akan berlanjut hingga Jumat (13/8) di wilayah otonomi Ningxia Hui.
Wilayah itu berbatasan dengan Xinjiang, di mana China telah menahan lebih dari 1 juta orang Uyghur dan anggota kelompok-kelompok minoritas Muslim lainnya melalui usaha yang mereka sebut kampanye melawan terorisme dan ekstremisme.
Xinjiang berbagi perbatasan sempit dengan Afghanistan, dan Beijing khawatir tentang kekerasan yang meluas di perbatasannya jika Taliban mengambil kendali di negara itu setelah penarikan pasukan AS.
Meskipun bukan bagian dari aliansi formal, Rusia dan China telah menyelaraskan kebijakan militer dan luar negeri mereka yang sebagian besar bertentangan dengan kebijakan AS dan sekutunya
Kantor Berita resmi Xinhua mengatakan latihan itu dimulai Senin (9/8) dan dipimpin oleh Li Zuocheng, anggota Komisi Militer Pusat Partai Komunis yang berkuasa.
Latihan tersebut bertujuan untuk “memperdalam operasi anti-terorisme bersama antara militer China dan Rusia dan menunjukkan tekad kuat dan kekuatan kedua negara untuk bersama-sama menjaga keamanan dan stabilitas internasional dan regional,” kata kantor berita Xinhua, mengutip pernyataan sejumlah pejabat China dan Rusia.
"Latihan militer bersama ini menunjukkan adanya peningkatan koordinasi kemitraan strategis komprehensif China-Rusia untuk era baru dan rasa saling percaya, pertukaran pragmatis dan koordinasi yang strategis antara kedua negara," kata Xinhua.
Rusia mendukung China dalam klaimnya atas hampir seluruh Laut China Selatan. Terkait klaimnya itu, Beijing berselisih pendapat dengan AS pada pertemuan tingkat tinggi Dewan Keamanan PBB tentang keamanan maritim, Senin lalu.
China, Taiwan dan sejumlah anggota ASEAN, Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam, memiliki klaim yang tumpang tindih di perairan yang disengketakan itu.
Negara-negara itu terlibat dalam sengketa teritorial yang semakin tegang selama beberapa dekade. China membangun tujuh terumbu karang yang disengketakan menjadi pulau-pulau buatan yang dilindungi rudal dalam beberapa tahun terakhir, sehingga meningkatkan ketegangan dengan negara-negara yang juga memiliki klaim di perairan itu, yang mendapat dukungan dari AS dan sekutu-sekutunya.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menanggapi klaim China yang semakin tegas terhadap jalur perairan strategis tersebut dengan memperingatkan bahwa konflik apa pun di sana atau di lautan mana pun “akan memiliki konsekuensi global yang serius bagi keamanan dan perdagangan”.
Blinken mengatakan, di Laut China Selatan telah terjadi pertemuan berbahaya antara kapal dan telah muncul tindakan provokatif yang menegaskan klaim maritim yang melanggar hukum dalam usaha mengintimidasi dan menggertak negara-negara lain yang secara sah mengakses sumber daya laut mereka.
Wakil Duta Besar China, Dai Bing, menanggapi pernyataan Blinken dengan menuduh AS menjadi ancaman terbesar bagi perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan. Ia juga menyebut reaksi yang muncul di Dewan Keamanan sepenuhnya bermotif politik.
China telah menolak untuk mengakui putusan arbitrase internasional pada tahun 2016 yang membatalkan sebagian besar klaimnya di Laut China Selatan. [ab/lt]