Kota-kota utama di China, antara lain Shenzhen dan Beijing, tidak lagi mensyaratkan hasil uji medis negatif COVID-19 untuk naik transportasi umum. Beijing Jumat lalu (3/12) mengatakan kebijakan ini akan diberlakukan secara nasinal mulai 5 Desember.
Namun demikian hasil uji medis negatif COVID-19 dalam 48 jam terakhir masih menjadi persyaratan untuk memasuki fasilitas umum seperti pusat perbelanjaan, yang secara perlahan-lahan mulai kembali dibuka. Banyak restoran dan tempat makanan yang kini juga memulai layanan beli dan makan di rumah atau takeout services. Persyaratan itu memicu keluhan dari sejumlah warga Beijing, karena meskipun kota itu telah menutup banyak tempat pengujian COVID-19, sebagian besar fasilitas publik masih mensyaratkan hasil uji medis negatif COVID-19.
Sebelumnya pelonggaran serupa juga diberlakukan di kota Guangzhou. Lalu lintas dan makan di dalam restoran (indoor dining) diizinkan kembali, sementara pusat-pusat perbelanjaan di distrik Haizhu di selatan kota metropolis Guangzhou dibuka kembali. Guangzhou yang berpendudu, 13 juta orang adalah salah satu kota di mana sesekali terjadi demonstrasi memprotes kebijakan nol-COVID yang diberlakukan kembali di seluruh China sejak awal Oktober lalu. Sebagian demonstran bahkan menyerukan Presiden Ji Xinping mundur.
Sejarawan di Indiana University, Prof. Xin Zhang, mengatakan protes-protes itu terjadi karena memuncaknya rasa frustrasi akibat pemberlakuan kebijakan ketat selama bertahun-tahun.
“Rakyat China memrotes karena sudah bertahun-tahun frustrasi dengan kebijakan nol-COVID. Lockdown – atau penutupan sebagian wilayah dan penghentian sebagian kegiatan – yang berlangsung selama tiga tahun ini terlalu berat bagi warga China, dan mereka sekarang ingin kembali ke kehidupan normal. Signifikansi protes ini adalah warga yang protes tahun persis bahwa pemerintah China memiliki cara-cara yang jauh lebih baik untuk mengendalikan masyarakat melalui sistem pengawasan yang dimodernisasi," kata Xin.
Ia menambahkan, "Jadi meskipun warga tahu kemungkinan besar mereka akan menghadapi konsekuensi dan diburu oleh pemerintah, mereka tetap berani untuk memprotes. Saya yakin protes ini akhirnya akan membawa China menjadi masyarakat yang lebih baik. Protes-protes ini akan memaksa pemerintah China mengevaluasi kembali kebijakan lockdown mereka dan memodifikasinya sehingga pada taraf tertentu akan membeuat mereka melonggarkan kebijakan tersebut.”
WHO menyambut baik pelonggaran kebijakan nol COVID di China.
Direktur WHO Urusan Darurat Dr. Michael Ryan mengatakan, “Kami senang mengetahui bahwa otoritas China sedang menyesuaikan strategi mereka dan benar-benar mencoba melakukan langkah-langkah pengendalian yang akurat, yang mereka perlukan untuk melawan virus ini. Sekali lagi, kehidupan, mata pencaharian dan hak asasi warga masyarakat di seluruh dunia akan terpapar. Kita semua harus berurusan dengan pembatasan pergerakan, dengan perubahan hidup, dan itu melelahkan. Hal ini sudah sangat melelahkan bagi kita semua. Secara alamiah ada rasa frustrasi. Sangat penting bagi pemerintah untuk mendengar rakyat mereka dan melakukan penyesuaian sesuai kebutuhan.”
Lebih jauh Dr. Ryan mengatakan menggunakan vaksin-vaksin impor, seperti yang dibuat oleh BioNTech-Pfizer dan Moderna merupakan “pilihan yang solid” bagi China untuk mendorong cakupan imunisasinya. Vaksin buatan China terbukti kurang efektif dibanding vaksin Pfizer dan Moderna.
Hingga hari Minggu (4/12) masih ada 4.213 kasus baru COVID-19 di China, sehingga jumlah kasus mencapai 336.165; masih jauh lebih sedikit di bawah Amerika, India, Prancis, Jerman dan Brasil yang masih mendapati ribuan kasus baru setiap hari tetapi telah melonggarkan kebijakan COVID-nya.
Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan sekitar 90% populasi dunia kini memiliki semacam kekebalan terhadap virus corona dan semakin dekat menuju berakhirnya pandemi ini.
“Kita semakin dekat untuk mengatakan fase darurat pandemi telah berakhir, tetapi kita belum benar-benar tiba di sana,” tukasnya. [em/jm]
Forum