Niat hati ingin konsultasi kesehatan, malah dapat ceramah moral. Itulah yang dialami Arul, pria yang tinggal di Bandung, ketika dia datang ke puskesmas.
"Satu, kamu harus tobat. Kedua. kamu harus kembali ke jalan Tuhan yang lurus. Yang ketiga, disuruh kawin," ujar Arul mengingat pengalamannya beberapa tahun lalu.
Arul rutin melakukan tes HIV demi menjaga kesehatannya. Namun pengalaman di puskesmas membuatnya malas datang kembali.
"Nggak penting. Aku mikir: kok bisa ya mereka kan fokusnya di dunia kesehatan, kenapa enggak mereka cukup ngomongin dunia kesehatan saja?,” kata Arul.
“Tapi ketika mereka ngomong di luar dari jalurnya mereka, kenapa sih? Itu kan bukan ranahnya mereka kenapa mereka harus mengurusi?" Arul memaparkan kisahnya sambil merasa gemas.
Sementara Surya, pendamping orang dengan HIV/AIDS (ODHA), menceritakan pengalamannya bertemu petugas kesehatan yang selalu cemberut.
"Nggak senyum nggak apa gitu. Kalau ini sambil jamedud (cemberut). Kita kan kalau ke sana butuh kenyamanan juga," tutur Surya yang bekerja untuk LSM Srikandi Pasundan.
Padahal tes HIV menjadi satu-satunya cara untuk diagnosa penyakit ini. Sebab, HIV tidak memiliki indikasi atau gejala khusus. Tes HIV pun kini menjadi fokus pemerintah dalam upaya penanggulangan.
Menurut estimasi pemerintah, ada 650 ribuan ODHA di Indonesia pada 2017. Targetnya, 90 persen dari jumlah itu mau tes HIV untuk tahu statusnya. Faktanya, hanya 46 persen yang tercatat.
Kalau bicara jumlah ODHA yang akses obat (ART), angkanya malah turun lagi ke 30 persen. Dari mereka pun, hanya setengahnya yang masih rutin minum obat
Organisasi advokasi ODHA, Rumah Cemara, mengatakan banyak orang takut tes HIV karena takut dihakimi. Sebab oleh sebagian masyarakat, virus ini dihubungkan dengan perilaku yang dinilai tidak baik.
"Stigma ini sudah ditanam dari dulu: gambaran bahwa orang HIV itu sebentar lagi meninggal, berhubungan dengan perilaku moral yang tidak baik. Itu memang tidak mudah merubah konsep tersebut di kebanyakan benak di masyarakat. Sehingga ketika seseorang terinfeksi HIV yang mereka lihat gambaran yang itu," papar Indra Simorangkir, pengurus Rumah Cemara.
Virus HIV menular lewat seks tanpa kondom, jarum suntik tidak steril, atau dari ibu hamil ke bayi dalam kandungannya. Penyakit ini tidak menular lewat interaksi sosial seperti bersalaman, berpelukan, makan atau berenang bersama.
Penyakit HIV/AIDS menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan hidup dengan virus selamanya. Penyebaran dan penularan virus tetap bisa dicegah lewat antiretroviral therapy (ART).
Namun informasi mengenai HIV/AIDS ini belum sampai pada semua orang. Akibatnya masih banyak orang yang melakukan stigma dan diskriminasi kepada ODHA.
LBH Masyarakat pada 2016 melakukan riset pemberitaan terkait hal ini. Lembaga ini menemukan, dari 29 berita diskriminasi terhadap ODHA, 41 persen diantaranya terkait layanan kesehatan. Sementara itu, terdapat 53 berita mengandung stigma yang mengaitkan ODHA dengan “tidak bermoral”, “perilaku negatif”, dan pelekatan HIV/AIDS kepada “golongan tertentu”.
Kemenkes Berupaya Kurangi Stigma
Bagaimana pun, HIV/AIDS adalah isu kesehatan yang tidak bisa dicampur-adukkan dengan moral. Sejumlah LSM pendamping ODHA pun mengeluhkan “ceramah moral” ini ke Kementerian Kesehatan. Kemenkes menemukan, petugas kesehatan kadang menerapkan stigma dan diskriminasi kepada pasien. Lantas bagaimana cara mengurangi ini?
Pada 2014, pemerintah mengirim sejumlah petugas kesehatan dan pendamping ODHA ke Filipina untuk belajar bagaimana menghapus stigma yang sudah terlanjur melekat. Awal 2015, pemerintah pun merancang Intervensi Pengurangan Stigma dan Diskriminasi (IPSD) untuk tenaga kesehatan.
Fasilitator Nasional IPSD Hellen Prameswari mengatakan, petugas kesehatan diperkenalkan dengan keberagaman gender dan seksualitas. Dengan demikian, petugas kesehatan bisa melayani dengan kacamata kesehatan saja.
"Kita harus tahu standing point kita sebagai apa. Bapak ibu datang ke sini sebagai petugas kesehatan. Kita sudah disumpah pada saat mau bekerja atau lulus sekolah akan melayani siapapun dari latar belakang apa pun,” ujar Hellen.
“Kalau posisi kita adalah petugas kesehatan dengan baju putih, putih itu artinya apa? Netral. Jadi kita tuh jangan lagi berada dalam masa kita masih membeda-bedakan seseorang," jelas Hellen.
Mereka pun bertemu langsung dengan kelompok warga berisiko tinggi HIV/AIDS seperti waria dan lelaki seks lelaki. Banyak di antara petugas yang awalnya menghakimi mereka namun kini berangsur-angsur berubah.
"Nggak lupa pola trainingnya itu harus fun jangan dibikin berat. Jadi mereka tuh terlihat saling membutuhkan. Itu yang penting di dalam bikin hubungan. Harus saling membutuhkan," kata Hellen menambahkan.
Awal 2015, IPSD dilakukan pada petugas kesehatan di 5 provinsi. Pada 2017, sudah sampai 21 provinsi. Ketrampilan ini diteruskan sampai unit terbawah lewat mini lokakarya. Kini, kepanjangan IPSD pun berubah jadi Intervensi Penghapusan Stigma dan Diskriminasi.
Kasubdit AIDS dan PIMS Kemenkes, Endang Budihastuti, berharap IPSD membantu petugas kesehatan jadi lebih bijaksana. Petugas dapat melayani semua pasien dari latar belakang apapun, meski bertentangan dengan nilai yang diyakini.
"Tinggal bagaimana pemahaman mereka. Bagaimana pandangan mereka dari judge orang dengan perilaku berisiko itu menjadi ‘OK saya punya nilai seperti ini tapi harus tetap melayani. Meski mungkin dia tidak bisa menerima," pesannya. (rt/em)