Pada konferensi pers rutin Kementerian Luar Negeri China pada tanggal 3 April 2024, juru bicara Wang Wenbin mengomentari meningkatnya ketegangan antara Filipina dan China, dengan mengatakan:
“Filipina terus menuduh China ‘mengintimidasi negara-negara kecil’ tanpa menyebutkan sama sekali pendudukan Filipina dan perambahan terhadap wilayah China di Nansha Qundao. Itu adalah ‘jebakan’ propaganda yang nyata. Masalah Ren’ai Jiao bukanlah kasus intimidasi negara besar terhadap negara kecil, tetapi janji-janji yang tidak terpenuhi dan provokasi yang disengaja (oleh Filipina)…”
Komentar Beijing tersebut muncul di tengah meningkatnya ketegangan antara China dan Filipina di Laut China Selatan.
Wang menambahkan, “Filipina mengejar keuntungan sepihak dengan mengorbankan konsensus yang dicapai oleh negara-negara di kawasan. Inilah alasan utama mengapa situasi di Laut China Selatan meningkat dan menjadi lebih rumit.”
(Pernyataan) itu salah.
Pertama, perlu diperhatikan contoh-contoh yang didokumentasikan oleh penjaga pantai Filipina dan media independen mengenai aktivitas zona abu-abu China dan tindakan agresif terhadap kapal-kapal Filipina.
Misalnya, pada tanggal 4 April, Jay Tarriela, juru bicara penjaga pantai Filipina, melaporkan bahwa penjaga pantai China menggunakan meriam air untuk mengancam dua kapal penangkap ikan Filipina. China juga menggunakan taktik "tabrakan yang disengaja", menggunakan penghalang bawah laut, dan laser militernya untuk menghentikan misi pasokan dan patroli Filipina.
Selain itu, belum pernah ada “janji” resmi antara Filipina dan China. China telah menyinggung tentang perjanjian tidak resmi antara China dan mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
Presiden Filipina saat ini, Ferdinand Marcos Jr. menyatakan bahwa dia tidak diberitahu mengenai adanya perjanjian tersebut – perjanjian tersebut tidak pernah tertulis – dan menambahkan bahwa dia “takut dengan gagasan tersebut…”
Dia juga mengeluarkan pernyataan: “Jangan sampai kita terjebak dalam propaganda China yang memfokuskan kembali perdebatan pada apa yang disebut "janji", sehingga mengalihkan perhatian dari pemerintah China, serta membebaskan dan membiarkan mereka melanjutkan aktivitas ilegalnya (di Laut China selatan).”
Kesepakatan kedua negara diperkuat oleh mantan juru bicara kepresidenan Filipina Harry Roque dan diklarifikasi lebih lanjut oleh Duterte sendiri pada tanggal 12 April. Duterte telah menyatakan bahwa perjanjian tersebut bertujuan untuk mempertahankan “status quo” di Laut China Selatan tetapi tidak untuk membatasi kedaulatan Filipina. Sementara, Roque menggarisbawahi bahwa “status quo” tidak berarti menyerahkan klaim Filipina terhadap wilayah mereka seperti Second Thomas Shoal, yang oleh China disebut Ren’ai Jiao.
Second Thomas Shoal telah lama diperdebatkan kedua negara. Pada tahun 1999, Filipina dengan sengaja menempatkan kapal angkatan lautnya "BRP Sierra Madre" di sana, untuk menegaskan bahwa dangkalan tersebut adalah wilayah Filipina. Beberapa tentara Filipina masih tinggal di Sierra Madre, dan ketegangan meningkat karena China menghalangi misi untuk mengirimkan pasokan bagi mereka.
Terakhir, klaim China atas Laut China Selatan tidak diakui secara internasional atau diakui oleh banyak negara ASEAN.
Klaim teritorial China, yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus, mencakup sekitar 90% Laut China Selatan, sehingga melanggar banyak klaim kedaulatan negara tetangganya, termasuk zona ekonomi eksklusif Filipina.
Terlebih lagi, klaim kedaulatan oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri China secara terang-terangan mengabaikan hukum internasional. Pada tahun 2016, Filipina mengajukan kasus ini ke Pengadilan Arbitrase Permanen, atau PCA, di Den Haag, Belanda, mengenai klaim teritorial China di Laut China Selatan. Pengadilan memutuskan bahwa klaim teritorial China tidak berdasar dan tidak memiliki dasar hukum. Lebih lanjut diputuskan oleh pengadilan di Den Haag bahwa Second Thomas Shoal terletak di zona ekonomi eksklusif Filipina.
Namun, China terus mengabaikan keputusan tersebut.
Selain itu, klaim China – bahwa Filipina memicu ketegangan dengan mendatangkan "aktor-aktor" (pihak) lain – juga salah. Filipina menjadi lebih dekat dengan AS setelah meningkatnya "aktivitas zona abu-abu" oleh China.
Amerika Serikat juga telah mencoba melakukan dialog dengan China. Pada tanggal 2 April, Presiden AS Joseph Biden menelepon Presiden China Xi Jinping untuk mengungkapkan kekhawatirannya atas meningkatnya ketegangan. Keduanya bahkan dilaporkan membahas kunjungan Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan AS ke China.
Pasca pembicaraan telepon antara Xi dengan Biden, China meluncurkan patroli Tentara Pembebasan Rakyat, atau PLA, pada hari yang sama ketika Filipina, AS, Jepang, dan Australia mengadakan latihan maritim bersama.
Bahkan, Kementerian Luar Negeri Rusia berusaha memanfaatkan situasi ini dengan melontarkan klaim palsu bahwa perselisihan yang terjadi saat ini adalah kesalahan “ekspansi” Barat.”
AS dan Filipina telah memiliki perjanjian pertahanan bersama sejak tahun 1951, sehingga tindakan bersama mereka saat ini hanyalah penegasan atas perjanjian pertahanan tersebut.
Pada tanggal 11 April, Biden menegaskan dukungan AS, dengan menyatakan, “Setiap serangan terhadap pesawat, kapal, atau angkatan bersenjata Filipina di Laut China Selatan akan mengacu pada perjanjian pertahanan bersama kami (AS-Filipina, red.).”
Upaya China dan Rusia untuk menyalahkan Barat berarti kedua negara gagal untuk mengakui hak negara-negara seperti Filipina yang memiliki kebijakan keamanan dan luar negeri mereka sendiri, serta hak untuk memperkuat aliansi dengan negara lain, termasuk Amerika Serikat.