Pemerintah per 20 April telah melepaskan 38 ribuan warga binaan di berbagai daerah untuk mengurangi kepadatan di dalam lapas. Namun langkah itu dianggap masih kurang.
Menurut Yohan Misero dari Indonesian Act for Justice (AKSI), jika pemerintah ingin benar-benar mengurangi kepadatan, mereka perlu membebaskan para pengguna narkoba.
"Sayangnya pembebasan 30 ribuan napi tidak menyentuh salah satu masalah utama yakni pengguna narkoba. Mereka tetap dikriminalisasi oleh hukum dan pembebasan ini tidak menyentuh mereka,” ujarnya dalam diskusi mengenai masalah kelebihan penghuni di penjara, Kamis (14/5) siang.
Data Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan sejumlah lembaga mengungkapkan jumlah penghuni rutan dan lapas di Indonesia hingga Maret 2020 mencapai 270.466 orang. Bahkan setelah dikurangi pun, jumlahnya masih jauh melampaui kapasitas yang hanya 132.335 orang.
Pemerintah berulang kali menegaskan bahwa pembebasan napi tidak akan berlaku bagi kasus korupsi, terorisme, dan narkoba. Padahal, 55 persen warga binaan pemasyarakatan (WBP) tersebut berasal dari tindak pidana narkotika, di mana 38.995 WBP merupakan pengguna narkotika.
Menurut Yohan, pengguna narkoba memang sejak awal tidak layak dihukum dan seharusnya hanya direhabilitasi. "Perang terhadap narkoba dan pemenjaraan besar-besaran sebetulnya membuang-buang sumber daya, baik itu uang, waktu, dan fokus. Menurut saya pemerintah perlu mempertimbangkan untuk memfokuskan energi dan sumberdaya untuk Covid-19," imbuhnya.
Badan Narkotika Nasional (BNN) terus mengalami kenaikan anggaran dari Rp 770 miliar pada 2011 menjadi Rp 1,83 triliun rupiah pada 2016.
Filipina Hadapi Masalah Serupa
Situasi serupa juga terjadi di Filipina, ujar Cathy Alvarez dari StreetLawPH, LSM reformasi kebijakan narkoba di negara tersebut.
Menurut Cathy, bahkan sebelum ada wabah Covid-19, situasi di dalam lapas sangat memprihatinkan. Saking penuhnya lapas, warga binaan rentan tertular berbagai penyakit seperti HIV, tuberkulosis, dan hepatitis C.
"Contohnya sudah lama di daerah saya di Central Visayas (gugusan kepulauan di Filipina tengah.red), untuk 11 rutan dan lapas di tiga pulau hanya punya satu dokter,” terangnya.
Dia mengatakan, hingga 3 Mei lalu pemerintah Filipina telah membebaskan 9.731 napi. Namun kata dia, angka itu belum cukup mengingat jumlah napi mencapai 215 ribu dari kapasitas ideal 40 ribu.
Sementara, ia mencatat, setidaknya 300-an napi di Filipina telah dilaporkan terjangkit Covid-19.
Dia mengatakan, Covid-19 menyadarkan pemerintah akan masalah kepadatan di lapas. Namun dia mengingatkan, jangan sampai pemerintah lupa akar masalahnya.
“Kenapa sejak lama situasi rutan dan lapas kita bisa over kapasitas. Dan kita harus mengkaji dampak pemidanaan berlebihan juga. Kita perlu menggunakan kesempatan ini untuk memikirkan ulang kecenderungan kita untuk mengkriminalisasi,” paparnya.
Perlu Solusi Alternatif
Masalah kelebihan jumlah penghuni dibanding kapasitas lapas terjadi di mayoritas negara-negara Asia Tenggara, ujar Dr. Raymund Narag dari Southern Illinois University. Indonesia ada di posisi dua terburuk dengan 204 persen, lebih baik dari Thailand (172 persen), Kamboja (146 persen), dan Malaysia (142 persen). Sementara yang terburuk adalah Filipina dengan kelebihan jumlah penghuni mencapai 529 persen.
Raymund menyatakan, situasi ini diakibatkan oleh hukum narkoba garis keras, kebijakan yang ketinggalan zaman, dan kasus yang menumpuk di pengadilan. “Ini jadi lingkaran setan, semakin sering kita menjatuhkan hukuman pidana, semakin sering kita perlu memenjarakan orang. Ini seperti ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya, prosesnya tidak pernah berhenti,” ujarnya.
Karena itu kata dia, dekriminalisasi pengguna narkoba sangat mungkin dilakukan. Isu narkoba sebaiknya diselesaikan dengan kesehatan masyarakat, seperti rehabilitasi, dan bukan pemidanaan.
"Mereka-mereka pada akhirnya adalah korban dari penggunaan narkoba, yang seharusnya dibantu bukan dihukum,” pungkasnya. [rt/em]