Tautan-tautan Akses

Calon Diplomat Gen Z dan Analis Meraba Hubungan Bilateral Indonesia-Amerika di Bawah Trump


Bendera RI di tengah kibaran bendera merah putih saat merayakan HUT ke-77 di Pantai Losari, Makassar, Sulawesi Selatan, 17 Agustus 2022. (Foto: Antara/Abriawan Abhe via REUTERS)
Bendera RI di tengah kibaran bendera merah putih saat merayakan HUT ke-77 di Pantai Losari, Makassar, Sulawesi Selatan, 17 Agustus 2022. (Foto: Antara/Abriawan Abhe via REUTERS)

Gaya komunikasi dan pilihan kebijakan yang diambil Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat, menjadi daya tarik tersendiri bagi sejumlah mahasiswa Hubungan Internasional Indonesia. Namun, wajah hubungan Amerika-Indonesia empat tahun mendatang masih menjadi tanda tanya.

Komunitas mahasiswa yang belajar ilmu Hubungan Internasional (HI) di berbagai perguruan tinggi Indonesia, menjadikan kembalinya Trump ke kursi kepresidenan Amerika sebagai bagian dari diskusi mereka. Bagi para calon diplomat muda ini, politik Amerika diakui memiliki daya tarik cukup tinggi, ditambah dengan berbagai analisis terkait hubungan kedua negara ke depan.

“Teman-teman di twitter, di Indonesia, di X sekarang nyebutnya, cukup ramai membahas terkait Trump, karena kebijakan dari Trump yang cukup mengejutkan untuk teman-teman HI,” kata Karen Ainun Jayatri, mahasiswa HI Universitas Amikom, Yogyakarta.

Beberapa yang ramai dibahas adalah keputusan Trump yang membawa Amerika keluar dari Perjanjian Iklim Paris dan WHO, serta posisi kebijakan yang dianggap cukup proteksionis untuk kepentingan dalam negeri Amerika.

Karen Ainun Jayatri, Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Amikom Yogyakarta. (Foto: Dok Pribadi)
Karen Ainun Jayatri, Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Amikom Yogyakarta. (Foto: Dok Pribadi)

Namun lebih dari itu, bagi para mahasiswa yang juga bagian dari gen Z ini, bukan hanya pilihan kebijakan itu saja yang menarik, tetapi cara Trump menyampaikan keputusan yang cenderung lugas dan menghindari kata-kata diplomatis berlebih juga mendapat perhatian.

Muh Zulhamdi Suhafid, mahasiswa Hubungan Internasional UIN Alauddin, Makassar, Sulawesi Selatan menyebut, diplomasi dalam konteks hubungan internasional tidak selalu harus menggunakan negosisasi atau kalimat formal. Bahasa yang sederhana, frontal, bahkan kontroversial adalah juga bagian dari diplomasi itu. Dalam kaitan Trump, pilihan kata itu menjadi bagian dari gaya kepemimpinannya untuk melakukan diplomasi internasional.

“Saya melihat, gaya bahasa yang dilontarkan Presiden Trump pada saat dilantik, pada 20 Januari kemarin, merupakan upaya untuk memerlihatkan keagresivitasannya. Agresifnya seorang Presiden Amerika yang terpilih,” kata Zulhamdi.

Soal pilihan kosa kata dari Trump ini juga menarik bagi James William Kusumawikan, mahasiswa HI Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah. Dia memberi contoh sejumlah aksi politisi dunia yang tidak biasa, tetapi justru mendapat sorotan khusus.

James William Kusumawikan, Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah. (Foto: Dok Pribadi)
James William Kusumawikan, Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah. (Foto: Dok Pribadi)

“Itu saya kira saat ini di dunia internasional justru malah ter-spotlight dan memberikan antitesa kepada para politisi yang biasanya bermulut manis,” kata James.

Dia menyebut, Presiden Argentina Javier Milei, yang dikenal sebagai Trump yang kedua, sebagai tokoh dengan karakter komunikasi yang sama. Milei secara mengejutkan mampu membawa ekonomi Argentina kembali positif, setelah luluh lantak sepanjang penguasa sebelumnya.

“Ini mungkin dilihat dunia internasional sebagai suatu hal, dimana kita butuh pemimpin yang realistis, clear penyampaiannya, tidak berbelit-belit dan pro rakyat,” tambahnya.

Di era di mana komunikasi lansung terjadi antara tokoh dan masyarakat melalui media sosial, lanjut James, pilihan kosa kata politisi yang apa adanya lebih mudah dipahami. Tanpa perantara media arus utama, yang bisa jadi menyaring berbagai pernyataan itu agar lebih sesuai, pernyataan atau pesan yang lugas lebih mudah diterima gen Z.

Alasan Trump ketika mengumumkan rencananya untuk keluar dari WHO adalah terkait penanganan COVID, menjadi contoh yang disebut James sebagai komunikasi lugas, tanpa berupaya membalut langkah itu dengan bahasa diplomasi yang halus.

Satu hal yang dicatat Rasya Ihza Maulavi, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, adalah bahwa pilihan untuk berbicara lugas dalam diplomasi ini, ternyata menarik perhatian publik.

Rasya Ihza Maulavi UIN, Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. (Foto: Dok Pribadi)
Rasya Ihza Maulavi UIN, Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. (Foto: Dok Pribadi)

“Menurut saya cukup menarik, bagaimana seorang Donald Trump ini bisa menyihir audiences-nya atau pendukungnya dengan kata-kata yang cenderung treatment-nya agak berbeda dengan beberapa pemimpin dunia lainnya,” ujar Maulavi.

Dia membandingkan dengan politisi Indonesia yang cenderung menggunakan kata-kata yang halus, sementara Trump menggunakan kata-kata yang lebih singkat, lebih sederhana dan lebih mudah dipahami.

Menurut Muh Zulhamdi Suhafid, gaya diplomasi Trump ini akan menjadi tantangan bagi Indonesia.

“Indonesia harus melakukan diplomasi yang adaptif, harus mampu membaca kondisi,” kata dia.

Daya tarik Trump di kalangan anak muda, tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di Amerika sendiri. Kantor berita AFP melaporkan, dalam Pilpres November 2024, 49 persen pemilih laki-laki muda berusia 18-29 tahun condong ke Trump. Angka ini merupakan peningkatan signifikan, karena sebelumnya anak muda selalu disebut lebih condong ke kelompok kiri.

AFP juga menyebut, popularitas itu didorong antara lain oleh tampilnya Trump dalam konten-konten yang memiliki pasar anak muda, seperti podcast “Joe Rogan Experience”. Podcast semacam ini memotivasi pemilih laki-laki muda untuk memberikan suara, kata Kathleen Dolan, ilmuwan politik di University of Wisconsin, Milwaukee.

Presiden Donald Trump menghadiri acara kampanye pada Minggu, 29 September 2024, di Erie, Pennsylvania. (Foto: AP)
Presiden Donald Trump menghadiri acara kampanye pada Minggu, 29 September 2024, di Erie, Pennsylvania. (Foto: AP)

Jajak pendapat Edison Research menyebut, sekitar 54 persen laki-laki keturunan Amerika Latin memilih Trump dalam pilpres, naik 18 poin dibanding dukungan untuk Partai Republik pada 2020.

BRICS Jadi Ganjalan

Diplomasi adaptif nampaknya tetap akan memiliki tantangan berat, terutama karena pilihan Indonesia untuk bergabung dengan blok BRICS.

BRICS adalah blok ekonomi dari 11 negara, yaitu Brazil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, UEA, Iran, Mesir, Ethiopia, Uni Emirat Arab dan Indonesia sendiri yang berarti memiliki hampir separuh populasi dunia. Potensi ekonomi negara-negara ini sekitar 29 persen dari PDB global dan 20 persen perdagangan barang dunia. BRICS juga memegang 40 persen produksi dan ekspor minyak mentah global dan menguasai cadangan bahan mentah strategis bagi energi hijau.

Presiden Trump telah berulangkali melayangkan ancaman bagi negara-negara yang bergabung dalam BRICS.

“Kita akan mengenakan tarif sedikitnya 100 persen terhadap bisnis yang mereka lakukan dengan Amerika. Anda tahu BRICS, kan?” katanya.

Pernyataan sejenis dia sampaikan sebelum pelantikan, dan diulang ketika menandatangani sejumlah instruksi presiden pasca pelantikannya.

Empat mahasiswa HI dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia yang ditemui VOA sepakat menyebut Indonesia terburu-buru bergabung dengan BRICS.

“Ini juga agak mencederai, apakah Indonesia masih bisa menerapkan non alignment-nya, dan juga apalagi tadi Amerika dengan proteksionismenya Donald Trump yang pernah mengancam akan memberikan tarif 100 persen kepada negara-negara BRICS,” ujar James.

Sementara Maulavi mengatakan, “Melihat keadaan geopolitik anggota-anggotanya, dan juga bagaimana sistemnya, saya rasa memang sedikit meragukan. Dan banyak akademisi meragukan kalau memang BRICS ini akan bermanfaat.”

Muh Zulhamdi Suhafid, Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan. (Foto: Dok Pribadi)
Muh Zulhamdi Suhafid, Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan. (Foto: Dok Pribadi)

Indonesia, kata Zulhamdi, seharusnya menunggu peta kebijakan pemerintahan Trump sebelum memutuskan bergabung BRICS.

“Akan ada kegoyangan atau keguncangan sedikit dengan pemerintah Amerika, apabila ke depannya pemerintah Indonesia lebih cenderung menguatkan kerja sama atau hubungan bilateral dengan negara-negara yang tergabung dalam BRICS,” ujarnya.

Sementara Karen menambahkan, dalam diskusi-diskusi di kampus, masa depan hubungan Indonesia dan Amerika dikaitkan setidaknya dengan tiga persoalan.

“Indonesia yang bergabung dengan BRICS, kemudian beberapa kali terlihat lebih condong ke China, dan ada kekosongan jabatan di kedutaan Indonesia di Amerika. Itu cukup menjadi pertanyaan, apakah Indonesia benar-benar menjaga kerja samanya dengan Amerika,” kata Karen.

Namun, pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Sugiono memastikan keanggotaan Indonesia di BRICS merupakan perwujudan nyata dari prinsip politik luar negeri bebas aktif, bukan sebuah penyimpangan.

“Karena keputusan ini bukanlah merupakan hasil kerja semalam, melainkan buah dari kiprah, konsistensi, dan keteguhan diplomasi Indonesia selama puluhan tahun,” kata Sugiono dalam Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri 2025 pada 10 Januari di Jakarta.

Sugiono menyebut, proses aksesi Indonesia ke BRICS merupakan bagian dari diplomasi aktif di bawah arahan presiden.

“Dan pada bulan ini, Indonesia telah secara resmi bergabung menjadi anggota BRICS. Dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan, para anggota BRICS sepakat untuk memutuskan dan menerima Indonesia sebagai anggota penuh. Di sini, kita melihat bahwa Indonesia dipandang sebagai negara yang penting untuk bisa segera bergabung,” kata dia.

Sebagai anggota BRICS, Indonesia kata Sugiono, akan memastikan jembatan kepentingan negara-negara berkembang dan kawasan Indo-Pasifik tetap terjalin, seiring peran aktif di kelompok negara lain seperti G20, APEC, IPEF, MIKTA, dan CPTPP serta tahap aksesi sebagai anggota OECD.

Indonesia Perlu Antisipasi

Dalam pernyataan kepada media di Jakarta pada 21 Januari, peneliti dari The Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengingatkan pentingnya antisipasi Indonesia terhadap perubahan di Amerika.

“Kita harus antisipasi, bahwa ke depannya jangan sampai kita kaget dengan berbagai tindakan yang dilakukan oleh administrasi yang baru ini, dan untuk itu kita juga juga di Indonesia tentunya perlu mengantisipasi serta merespons dengan tepat berbagai kemungkinan-kemungkinan tadi,” kata Yose Rizal Damuri, Direktur Eksekutif CSIS.

Para peneliti CSIS Jakarta menyampaikan hasil kajian mereka terkait tantangan hubungan bilateral Indonesia-AS di bawah Trump. (Foto: Courtesy)
Para peneliti CSIS Jakarta menyampaikan hasil kajian mereka terkait tantangan hubungan bilateral Indonesia-AS di bawah Trump. (Foto: Courtesy)

Yose juga mengingatkan bahwa kebijakan Trump kali ini mendapatkan dukungan cukup luas di dalam negeri Amerika, terlihat dari perolehan kursi Partai Republik di Kongres. Selain itu, dukungan juga datang dari sektor bisnis.

“Yang ketiga, kita juga mungkin bisa melihat bahwa kebijakan-kebijakan Amerika Serikat di bidang ekonomi misalnya, akan lebih mementingkan Amerika Serikat itu sendiri, tetapi ini bukan berarti Amerika Serikat akan mengisolasi diri,” tambahnya.

Trump dinilai tidak akan melihat masa lalu hubungan Indonesia-Amerika, tetapi lebih ke situasi saat ini.

“Mungkin Trump akan menjadi pemimpin yang lebih tidak peduli rekam jejak masa lalu. Dia melihatnya potret sekarang. Indonesia sekarang lagi dekat sama siapa, potret portofolio investasinya seperti apa, potret neraca perdagangannya dekat dengan siapa,” kata Waffaa Kharisma, peneliti CSIS.

Salah satu yang dipakai Trump dalam diplomasi ekonominya dengan negara lain, termasuk Indonesia adalah melalui pengenaan tarif.

Dandi Rafritandi mengingatkan Indonesia perlu memperkirakan apa potensi dampak dari pengenaan tarif oleh Trump ke sejumlah negara.

“Jadi, kalau untuk Indonesia, kemungkinan ancaman-ancaman tarif ini adalah sebuah tools yang akan digunakan oleh Presiden Trump untuk mendapatkan atau bisa menegosiasikan terms dan condition yang lebih baik lagi, terkait dengan kerja sama ekonomi maupun perdagangan ataupun investasi dengan Indonesia,” ujar Dandi.

“Jadi, bagaimana caranya bring Indonesia to the table, adalah dengan kemungkinan misalnya mengenakan tarif, mengetahui bahwa kita memiliki surplus perdagangan yang lumayan signifikan terhadap Amerika Serikat,” lanjutnya.

Indonesia mencatat surplus perdagangan sekitar $31 miliar dengan Amerika.

Sementara Pieter Pandie, peneliti CSIS yang lain menilai ada kemungkinan kerja sama dalam pertahanan dan keamanan bilateral dengan Amerika senada dengan periode pertama Trump.

“Di mana hubungan itu cukup stagnan, walaupun latihan militer dan dialog tingkat tinggi antara petinggi militer dan juga pemerintah tetap terjadi secara rutin,” kata dia.

Presiden Prabowo Subianto tiba di Pangkalan Militer Andrews, Washington DC, Amerika Serikat, Minggu, 10 November 2024, disambut Dubes Amerika untuk Indonesia Kamala Shirin Lakhdhir dan sejumlah pejabat. (Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr)
Presiden Prabowo Subianto tiba di Pangkalan Militer Andrews, Washington DC, Amerika Serikat, Minggu, 10 November 2024, disambut Dubes Amerika untuk Indonesia Kamala Shirin Lakhdhir dan sejumlah pejabat. (Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr)

Pieter mengingatkan, selama periode pertama Trump, interaksi keamanan bilateral tetap berlangsung, tetapi tidak ada hal yang benar-benar mendorong kemajuan yang signifikan.

Indonesia sendiri cukup optimis dengan hubungan bilateral kedua negara. Setidaknya itu tercermin dari pernyataan Ida Bagus Made Bimantara, Kuasa Usaha Ad Interim KBRI Washington DC ketika ditemui VOA di sela pelantikan Trump pada 20 Januari.

“Jadi banyak hal-hal yang tadi disampaikan oleh Presiden Trump itu sebenarnya juga kita kurang lebih aspirasinya ke sana, contohnya adalah ketahanan energi, ketahanan pangan dan juga bagaimana upaya untuk terus memperkuat Amerika Indonesia juga terus ingin memperkuat Indonesia,” kata diplomat yang akrab dipanggil Sade itu.

“Dan juga hubungan yang baik antara Presiden Trump dengan Presiden Prabowo itu menjadi modal untuk kerja sama kita,” tambahnya.

Prabowo sendiri belum bertemu dengan Trump, tetapi keduanya melakukan pembicaraan singkat yang hangat melalui telepon, ketika Prabowo berkunjung ke Washington pada 11 November 2024.

Hubungan Amerika-Indonesia di Bawah Prabowo dan Trump
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:48 0:00

Sulit Meraba Masa Depan

Hubungan Indonesia-Amerika cukup baik di era Presiden Jokowi dan pemerintahan Biden. Namun sejumlah pengamat dari Amerika Serikat mengakui, sulit untuk meraba bagaimana wajah hubungan bilateral kedua negara di bawah Prabowo-Trump.

“Sangat sulit membuat perkiraan, karena Trump sulit ditebak dan transaksional, dan Indonesia tidak pernah menjadi negara yang dia perhatikan atau memiliki kaitan dengannya,” kata Robert J. McMahon dari Ohio State University

Sementara Indonesia semakin condong ke China dan bergabung dengan BRICS, Trump menunjuk pejabat yang keras terhadap negara Tirai Bambu itu.

“Dia mengangkat tokoh yang keras terhadap China, yang percaya bahwa kebijakan tegas terhadap China adalah sesuatu yang tepat. Marco Rubio, Menlu Amerika yang baru adalah salah satunya. Jadi, ini mungkin menempatkan Indonesia dalam posisi sulit, karena Indonesia tak mau bergabung dengan kubu anti-China. Jadi sebesar apa upaya Amerika menekan Indonesia lebih anti-China, itu yang bisa memunculkan gesekan,” tambah McMahon.

Marco Rubio adalah Menlu yang sebelumnya menjadi senator dan dikenal keras dengan China. Pada 2023, dia pernah meminta pemerintahan Biden untuk menyelidiki kemitraan produsen otomotif Amerika, Ford dengan PT Vale Indonesia dan perusahaan China Zheijiang Huayou. Dia juga kritis terhadap BRICS.

“Saya tak tahu bagaimana ini semua berakhir, tapi saya kira ini terjadi di saat sangat sensitif dan tergantung apa yang nanti dilakukan Trump. Semakin sulit bagi Indonesia berhadapan dengan Trump, semakin kuat kemungkinan mereka mendekat ke China. Mungkin tidak ke Rusia, tetapi jelas ke China,” ujar Donald K. Emmerson dari Stanford University. [ns/ys/rt/ab]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG