Hari Senin menjadi keberuntungan tersendiri bagi Ngadiyono, Caleg Partai Gerindra dari Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Senyum lebarnya merekah setelah hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta memastikan namanya akan tetap terpampang di Daftar Calon Tetap (DCT) pada Pemilu 2019. Keputusan hakim ini juga memastikan karier politik yang sudah dibangun sejak bertahun lalu, bisa berlanjut.
Ngadiyono menyebut, putusan hakim membuktikan keadilan masih ada di Indonesia.
“Inilah jawaban kami, bahwa kami dari Partai Gerindra dan tim pengacara sudah bekerja semaksimal mungkin untuk bisa memenangkan hak-hak kami yang selama ini agak dizalimi. Mudah-mudahan ini berlaku di Indonesia, jangan hanya di Gunungkidul, karena banyak temen-teman kami yang hanya mengangkat tangan begini saja sudah berbagai macam alasan kena pasal, kena kasus dan sebagainya. Tetapi di pihak sebelah aman dan nyaman,” papar Ngadiyono.
Kasus ini berawal pada 28 November 2018, dalam kampanye Prabowo di Sleman, Yogyakarta. Ngadiyono ketika itu datang membawa mobil dinasnya sebagai Wakil Ketua DPRD Kabupaten Gunungkidul. Bawaslu mengetahui itu, dan setelah melalui persidangan di Pengadilan Negeri Sleman pada 4 Februari 2019, Ngadiyono diputus bersalah.
Pada 20 Februari 2019, KPU mencoret nama Ngadiyono. Kasus ini dibawa ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dua hari setelah pencoretan itu, datang surat Bawaslu yang menyatakan bahwa kasus tersebut tidak dapat diproses di lembaga tersebut. Tidak ada jalan lain bagi Ngadiyono kecuali membawa perkaranya ke PTUN sesuai undang-undang yang berlaku. Kasus ini merupakan sengketa pertama antara KPU dan Caleg dalam kaitan pencoretan nama dalam DCT yang diselesaikan di PTUN.
Hakim PTUN Yogyakarta menolak semua eksepsi yang diajukan KPU. Ada dua kesalahan mendasar yang dilakukan KPU. Pertama, penafsiran yang keliru atas pasal 280 UU Pemilu, di mana Ngadiyono datang sebagai tamu, bukan pelaksana kampanye. Kesalahan kedua adalah pernyataan bahwa gugatan Ngadiyono prematur. Faktanya, Caleg Gerindra tersebut sudah memasukkan perkara ke Bawaslu tetapi tidak diproses dengan alasan yang jelas.
Asman Semendawai, pengacara Ngadiyono meminta KPU dan Bawaslu belajar dari kasus ini.
“KPU harus lebih berhati-hati. Ada asas Patiha, yaitu kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian. Karena itu menyangkut hak politik seseorang. Tiga hari waktunya menurut undang-undang, KPU sudah harus membuat surat pembatalan dan menetapkan Pak Ngadiyono masuk dalam DCT lagi,” kata Asman.
Siti Ghoniyatun dari KPU DI Yogyakarta menyatakan keputusan pengadilan akan dipatuhi lembaga tersebut. Selain itu, undang-undang menyatakan keputusan PTUN ini final karena tidak dapat diajukan banding.
“Kami pasti akan menindaklanjuti putusan PTUN ini. Kami akan lakukan rapat pleno bersama KPU Gunungkidul, kemudian nanti perubahan SK dan sebagainya akan diputuskan dalam rapat pleno. Optimis dalam 3 hari akan selesai,” kata Siti Ghoniyatun.
Koordinator Jaringan Advokasi Hukum dan Pemilu, Dr Teguh Purnomo ketika dihubungi VOA menyatakan, keputusan PTUN ini harus menjadi perhatian seluruh pihak, terutama penyelenggara Pemilu. Teguh Purnomo adalah pengacara, dosen dan juga mantan komisioner Bawaslu Jawa Tengah.
Teguh menegaskan, KPU sebagai penyelenggara Pemilu hanya pelaksana dan tidak berhak menghilangkan hak politik seseorang. KPU memiliki kewenangan, tetapi hal-hal terkait ketentuan tindak pidana dan siapa yang dapat dikenai pidana itu, sepenuhnya sudah diatur undang-undang. Dalam kasus Ngadiyono, langkah KPU dan Bawaslu yang hanya didasari Surat Edaran justru patut dipertanyakan. Surat Edaran itu tidak memiliki unsur yuridis, filosofis maupun sosiologis.
Teguh mengapresiasi langkah Ngadiyono yang menempuh jalur hukum. Jika tidak ada Caleg yang berani menempuh jalur pengadilan seperti ini, bukan tidak mungkin kelak KPU dan Bawaslu akan melanggar hak politik lagi pada Caleg lain.
“Bagus karena dilakukan tidak dengan tekanan politik, karena wilayah hukum tentunya ke pengadilan. Dan yang bisa dipakai sebenarnya adalah mengajukan sengketa ke Bawaslu, kalau banding baru ke PTUN. Tetapi yang saya sayangkan, adalah mengapa Bawaslu menutup sengketa DCT seperti ini, padahal undang-undang membuka kesempatan itu. Saya katakan Bawaslu melampaui kewenangan atau melakukan sesuatu yang tidak pas,” kata Teguh Purnomo.
Teguh menambahkan, semestinya kasus ini bisa selesai di Bawaslu dan tidak perlu berlama-lama di pengadilan. Pokok perkaranya sangat jelas, ujarnya, di mana Ngadiyono jelas bukan pelaksana kampanye, tetapi hanya tamu dalam acara tersebut. Penafsiran yang keliru ini membuktikan bahwa KPU dan Bawaslu kekurangan komisioner yang paham hukum.
Semakin dekatnya waktu pelaksanaan Pemilu 2019 harus diikuti oleh kerja keras KPU dan Bawaslu menyelesaikan kasus-kasus semacam ini, ujar Teguh Purnomo. Lembaga tersebut tidak boleh abai dan lebih responsif. “Jangan menunggu waktu hilang, karena jika keputusan tidak cepat bisa mengabaikan hak politik para Caleg,” tambahnya. [ns/uh]