Tautan-tautan Akses

Brexit Picu Gelombang Anti-Uni Eropa di Hungaria


Tanda yang menunjukkan kamp pengungsi di Bicske didukung oleh Uni Eropa. Hungaria dengan setengah hati menampung pencari suaka. Pemerintah berharap referendum mendatang akan mendesak Uni Eropa untuk mereformasi kebijakan migrasinya (foto: L. Ramirez/VOA)
Tanda yang menunjukkan kamp pengungsi di Bicske didukung oleh Uni Eropa. Hungaria dengan setengah hati menampung pencari suaka. Pemerintah berharap referendum mendatang akan mendesak Uni Eropa untuk mereformasi kebijakan migrasinya (foto: L. Ramirez/VOA)

Di bulan-bulan mendatang Hungaria akan melaksanakan referendum untuk menentukan apakah akan menerima atau menolak kuota wajib yang diajukan Kanselir Jerman Angela Merkel untuk menerima sebagian pengungsi.

Keterkejutan susulan dengan keputusan rakyat Inggris untuk berpisah dengan Uni Eropa telah menyebar ke negara Eropa Timur dimana gerakan nasionalis mengatakan keputusan Inggris telah memberikan kekuatan pada kampanye mereka terhadap kebijakan migrasi Uni Eropa.

Hungaria akan melaksanakan referendum dalam bulan-bulan mendatang untuk menentukan apakah menolak rencana kuota wajib yang diajukan Kanselir Jerman Angela Merkel yang akan memaksa Hungaria dan anggota Uni Eropa lainnya untuk menerima sebagian pengungsi.

Oposisi terhadap rencana kuota wajib Uni Eropa terkait pengungsi

Attila Szigeti, penduduk Bicske, sebuah kota yang terletak 37 kilometer sebelah barat Budapest, mengatakan ia akan memilih untuk menolak kuota tersebut.

Di tahun yang lalu, Szigeti, 28 tahun, menyaksikan langsung krisis migran yang telah membawa lebih dari sejuta orang ke Eropa dari tempat-tempat seperti Suriah, Iraq, dan Afghanistan. “Awalnya, kami tidak memiliki masalah dengan mereka.” Gangguan yang ditimbulkan, ujarnya, hanya sedikit sekali. “Mereka tidak menimbulkan hal yang serius, hanya mencuri jagung dari tepi ladangku.”

Namun seiring dengan meningkatnya jumlah mereka, begitu pula dengan jumlah masalah yang ditimbulkan. “Mereka berkumpul dalam kelompok-kelompok, membentuk gang, dan mengganggu serta mengancam penduduk lokal,” ujar Szigeti. Sejak itu ia telah mencukur rambut di kepalanya, namun menolak apabila ia dianggap kelompok rasis berkepala plontos. “Dengan penampilan seperti ini, saya tidak perlu melihat apa yang ada di belakang saya. Saya tidak perlu takut karena dengan cara begini, saya tampak seperti seorang yang tangguh.”

Kaum migran berkata mereka bukanlah ancaman

Pengungsi dan kaum migran yang berada di kamp tampak terkejut setelah tahu mereka dianggap sebagai ancaman.

“Mengapa kami tidak diizinkan untuk tinggal di Eropa, apakah kami juga bukan manusia seperti anda? Apakah kami tidak memiliki keinginan, tidak memiliki hak-hak seperti anak-anak anda?” tanya Mano, seorang mahasiswa kedokteran berusia 22 tahun asal Afghanistan yang tiba di kamp minggu lalu.

Mano meninggalkan Kabul setelah kaum ekstrimis membunuh saudara lelakinya karena bekerja sebagai seorang penerjemah untuk tentara Perancis. Sekarang ia memendam rasa benci karena ada beberapa orang di Perancis dan tempat lainnya di Eropa yang mengutarakan kekhawatirannya terhadap terorisme sebagai alasan untuk menolak pengungsi. “Apa yang dapat kami bawa bersama kami? Tak satupun. Kami juga ingin damai. Itulah mengapa kami meninggalkan negri kami,” ujar Mano.

PM Hungaria mengatakan ini adalah masalah kedaulatan

Pemerintahan PM Hungaria, Viktor Orban, mengeluarkan jutaan dolar untuk memasang reklame dan iklan-iklan lainnya sebelum pelaksanaan referendum di Hungaria, yang akan melontarkan pertanyaan “Apakah anda ingin Uni Eropa menyatakan kewajiban untuk menerima warga non-Hungaria di Hungaria tanpa izin dari parlemen?”

Orban mengatakan pemilihan suara ini akan menjadi “peluang untuk membela kedaulatan Hungaria.”

Referendum untuk menolak rencana kuota Uni Eropa tampaknya akan meraih kemenangan

“Ia telah mempresentasikan Brussels sebagai musuh bangsa Hungaria,” ujar Nick Sitter, seorang professor bidang kebijakan publik di Central European University di Budapest, sebuah institusi yang didanai oleh milyarder Amerika dan seorang yang anti ekstrim kanan George Soros. “Ia mengatakan kami melawan Wina pada tahun 1848-49, tahun 1956 kami melawan Moskow, dan sekarang kami harus melawan Brussels.”

Partai oposisi utama di Hungaria adalah partai ekstrim kanan, partai JOBBIK yang didukung Rusia, dimana para pemimpinnya memandang Brexit sebagai suatu dorongan untuk dilaksanakannya referendum menyangkut migrasi, dan lebih luas lagi, gerakan anti-Uni Eropa.

“Ketika rakyat pergi ke TPS, pilihannya jelas untuk mendukung atau menentang Brussels dan kebijakan Uni Eropa berkaitan dengan migrasi,” ujar Marton Gyongyosi, wakil pemimpin JOBBIK di parlemen, kepada VOA.

Orban mengatakan ia mendukung Eropa yang kuat dan sangat berhati-hati agar tidak tampak seolah-olah ia mendorong negaranya untuk keluar dari Uni Eropa.

Namun ia menginginkan reformasi mendalam dalam pengelompokkan.

Pekan lalu, Hungaria dan kelompok Visegrad yang termasuk di antaranya Polandia, Republik Czech dan Slovakia, mengumumkan mereka akan merancang rencananya sendiri untuk mendesentrasilasikan Uni Eropa.

Kaum ekstrim kanan Hungaria juga menahan diri dari seruan untuk meninggalkan Uni Eropa, untuk saat ini.

“Saat ini saya akan berkata kami menahan posisi karena Brexit bisa jadi menimbulkan perubahan besar dalam Uni Eropa,” ujar Gyongyosi, wakil partai JOBBIK.

Di Bicske, Attila Szigeti berkata ia sangat antusias untuk memberikan suaranya dalam referendum dan menginginkan agar Hungaria mengakhiri masuknya para pencari suaka.

“Anda merasa seolah-olah mereka tidak ingin berasimilasi dan berperilaku seperti kami. Mereka mengabaikan budaya kami dan saya paham sepenuhnya sikap warga Inggris,” ujarnya. “Ini bukan rasisme, melainkan patriotisme.” [ww]

XS
SM
MD
LG