WASHINGTON DC —
Amerika dan Rusia mengakui perlunya meningkatkan kerjasama keamanan dan intelijen, tetapi ada keprihatinan, konsekuensi kerjasama itu mungkin adalah menyetujui taktik dan pelanggaran keras Rusia.
Tahun 1990-an, pasukan keamanan Rusia menewaskan puluhan ribu Chechen dan mengusir ratusan ribu lainnya untuk mengakhiri dua perang separatis menuntut kemerdekaan, yang dicap Rusia sebagai terorisme. Kedua pihak dituduh melakukan pelanggaran HAM serius, termasuk membunuh warga sipil.
Ali Tepsurkaev, pengungsi Chechen yang kini tinggal di Amerika mengungkapkan ia dan kakaknya, seorang wartawan, dulu menjadi sasaran kelompok paramiliter Rusia.
“Kakak saya, menurut saya, parah. Beberapa peluru bersarang dalam perutnya. Kami tidak bisa lari dari desa itu pada malam hari, terutama, karena darah te rus mengalir kemana-mana, ke tangan saya, dan ia meninggal di sana,” kata Ali.
Chechnya sejak itu tenang dibawah diktator yang bersekutu erat dengan Rusia. Tetapi Andrew Kuchins, analis Rusia pada Pusat Kajian Strategis dan Internasional, mengatakan pemberantasan pembangkang secara brutal ikut membuat kelompok-kelompok oposisi di wilayah itu semakin menjadi ekstremis.
“Banyak Chechen yang awalnya nasionalis, sebagian menjadi cukup radikal dan menyatakan diri semakin Islamis,” kata Kuchins.
Dalam 10 tahun terakhir, pemberontak Muslim Chechen menyandera ratusan warga Rusia, pertama di teater Moskow tahun 2002, kemudian tahun 2004 menyandera sekolah yang penuh anak-anak di wilayah Ossetia Utara. Untuk mengakhiri penyanderaan itu, tentara Rusia menggunakan kekuatan yang mematikan. Akibatnya, banyak warga sipil terbunuh.
Profesor Jurnalistik Nicholas Daniloff, pada Northeastern University di Boston, selama ini membantu pembangkang Chechen mendapat suaka di Amerika.
Ia mengatakan, sebelum diketahui tersangka pengebom maraton Boston Tamerlan dan Dzhokhar Tsarnaev adalah etnis Chechen, kerjasama anti-terorisme Amerika dengan Rusia diwarnai keprihatinan atas pelanggaran HAM dan tekanan terhadap kelompok-kelompok oposisi yang sah. Kini, ia cemas gerakan kemerdekaan di Chechnya dan Kaukasus Utara akan kehilangan dukungan publik.
“Apa yang terjadi kini dengan dua bersaudara Tsarnaev adalah mereka menghidupkan kembali semua pandangan negatif terhadap Chechen, dan menurut saya, akan butuh waktu sangat lama bagi orang pada umumnya untuk melupakan atau setidaknya memahami dengan lebih baik situasi yang sebenarnya,” kata Nicholas Daniloff.
Sementara pemboman Boston menyoroti perlunya kerjasama anti-terorisme yang lebih erat antara Amerika dan Rusia, Daniloff berharap, hal itu tidak akan mengurangi dukungan bagi demokrasi di wilayah tersebut.
Tahun 1990-an, pasukan keamanan Rusia menewaskan puluhan ribu Chechen dan mengusir ratusan ribu lainnya untuk mengakhiri dua perang separatis menuntut kemerdekaan, yang dicap Rusia sebagai terorisme. Kedua pihak dituduh melakukan pelanggaran HAM serius, termasuk membunuh warga sipil.
Ali Tepsurkaev, pengungsi Chechen yang kini tinggal di Amerika mengungkapkan ia dan kakaknya, seorang wartawan, dulu menjadi sasaran kelompok paramiliter Rusia.
“Kakak saya, menurut saya, parah. Beberapa peluru bersarang dalam perutnya. Kami tidak bisa lari dari desa itu pada malam hari, terutama, karena darah te rus mengalir kemana-mana, ke tangan saya, dan ia meninggal di sana,” kata Ali.
Chechnya sejak itu tenang dibawah diktator yang bersekutu erat dengan Rusia. Tetapi Andrew Kuchins, analis Rusia pada Pusat Kajian Strategis dan Internasional, mengatakan pemberantasan pembangkang secara brutal ikut membuat kelompok-kelompok oposisi di wilayah itu semakin menjadi ekstremis.
“Banyak Chechen yang awalnya nasionalis, sebagian menjadi cukup radikal dan menyatakan diri semakin Islamis,” kata Kuchins.
Dalam 10 tahun terakhir, pemberontak Muslim Chechen menyandera ratusan warga Rusia, pertama di teater Moskow tahun 2002, kemudian tahun 2004 menyandera sekolah yang penuh anak-anak di wilayah Ossetia Utara. Untuk mengakhiri penyanderaan itu, tentara Rusia menggunakan kekuatan yang mematikan. Akibatnya, banyak warga sipil terbunuh.
Profesor Jurnalistik Nicholas Daniloff, pada Northeastern University di Boston, selama ini membantu pembangkang Chechen mendapat suaka di Amerika.
Ia mengatakan, sebelum diketahui tersangka pengebom maraton Boston Tamerlan dan Dzhokhar Tsarnaev adalah etnis Chechen, kerjasama anti-terorisme Amerika dengan Rusia diwarnai keprihatinan atas pelanggaran HAM dan tekanan terhadap kelompok-kelompok oposisi yang sah. Kini, ia cemas gerakan kemerdekaan di Chechnya dan Kaukasus Utara akan kehilangan dukungan publik.
“Apa yang terjadi kini dengan dua bersaudara Tsarnaev adalah mereka menghidupkan kembali semua pandangan negatif terhadap Chechen, dan menurut saya, akan butuh waktu sangat lama bagi orang pada umumnya untuk melupakan atau setidaknya memahami dengan lebih baik situasi yang sebenarnya,” kata Nicholas Daniloff.
Sementara pemboman Boston menyoroti perlunya kerjasama anti-terorisme yang lebih erat antara Amerika dan Rusia, Daniloff berharap, hal itu tidak akan mengurangi dukungan bagi demokrasi di wilayah tersebut.