Masjid-masjid di lingkup pemerintahan, seperti kementerian, lembaga, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) rupanya mulai terpapar radikalisme. Menurut catatan Badan Intelijen Negara (BIN), dari 41 masjid yang terindikasi telah terpapar radikalisme, 17 masjid kondisinya sudah termasuk kategori parah. Secara keseluruhan ada 500 masjid di seluruh Indonesia telah terpapar radikalisme.
Kepada VOA, Senin (19/11), juru bicara BIN Wawan Purwanto menjelaskan penyebaran paham radikal dan terorisme tidak terlepas dari konflik bersenjata yang terus berlangsung di Timur Tengah, seperti di Irak, Suriah, Yaman, dan Libya. Dia menambahkan banyak ajaran-ajaran dari medan perang di Timur Tengah dibawa ke medan damai di Indonesia.
Wawan menambahkan ayat-ayat yang turun dalam peperangan banyak disampaikan di Indonesia yang dalam keadaan stabil, aman, dan damai.
"Sehingga akhirnya di sini masyarakat banyak yang juga lantas menerima mengenai berita-berita atau ajaran-ajaran berbeda, intoleransi, ujaran kebencian, ataupun takfiri, mengkafirkan pihak yang lain. Juga menyitir ayat-ayat tanpa menyebutkan sebab turunnya ayat. Sehingga akhirnya masyarakat menjadi terbawa emosional serta suasananya menjadi panas," kata Wawan.
Wawan mengatakan para penceramah radikal juga mengajak jamaah untuk ikut berperang atas nama jihad ke wilayah-wilayah konflik, seperti Marawi di Filipina Selatan. Mereka juga ada yang mengajak jamaah masjid untuk meyakini dan mulai bergerak buat membangun negara khilafah di Indonesia.
Menurut Wawan, BIN melansir data 41 masjid di lingkup pemerintah yang sudah terpapar radikalisme dan terorisme itu untuk memberi peringatan dini kepada masyarakat. Wawan meminta masyarakat ketika mendengarkan ceramah atau khotbah untuk mencerna apakah ajaran yang disampaikan sesuai atau tidak dengan ajaran Islam yang sesungguhnya atau mengandung unsur-unsur radikal.
Lebih lanjut Wawan mengungkapkan penyebaran paham radikal dan terorisme dari Timur Tengah lebih banyak disampaikan melalui media-media sosial, karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sudah canggih.
Hal ini, kata Wawan, diperparah oleh penyampaian dari dai-dai radikal yang menceritakan bagaimana kondisi masyarakat muslim di Timur Tengah yang menderita akibat perang. Hal ini mampu mengaduk emosi masyarakat dan menebar kebencian terhadap pihak-pihak yang dianggap musuh umat Islam.
Untuk mencegah penyebaran radikalisme dan terorisme, lanjut Wawan, BIN menggandeng beragam pihak di masyarakat dan pemangku kepentingan, termasuk tokoh agama, elite, organisasi kepemudaan untuk ikut meredakan ketegangan karena ada perbedaan.
Lebih lanjut Wawan mengatakan BIN juga berkomunikasi dengan pimpinan kampus-kampus yang telah terpapar radikalisme dan terorisme.
Soal guru agama yang terpapar radikalisme, Wawan meminta perlu ada pencerahan terhadap guru-guru agama bersangkutan agar jangan sampai terpapar dan menyebarluaskan ajaran intoleran itu kepada murid-muridnya.
Ketua Bidang Ukhuwah Islamiyah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Marsudi Syuhud menjelaskan penyebaran paham radikalisme ini mulanya diyakini oleh sejumlah individu dan ditularkan ke beberapa orang. Menyikapi hal tersebut, dia menambahkan pemerintah memiliki banyak lembaga berwenang untuk mencegah sekaligus menanggulangi penyebaran radikalisme dan terorisme, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Selain itu, lanjut Marsudi, Indonesia mempunyai banyak organisasi keagamaan bersifat moderat, seperti Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, dan Al-Irsyad, yang peduli dengan masuknya paham-paham yang dapat merusak keberagaman di tanah air.
Terkait penceramah atau khatib beraliran keras, Marsudi menekankan jamaah masjid dapat menjadi mata dan telinga bagi pihak berwenang untuk mengetahui apakah materi ceramah yang disampaikan berkaitan radikalisme, terorisme, atau hal-hal yang dapat merusak persatuan dan kesatuan.
Menurut Marsudi peran masyarakat sangat penting dalam mengawasi dan mencegah penyebaran paham radikalisme dan terorisme yang disebarkan melalui masjid atau kelompok-kelompok pengajian.
"Dalam satu komunitas masjid pasti tetap ada di antara mereka itu yang memahami. Kalau ada gejala sesuatu yang demikian (ustad berpaham radikal), boleh saja dilaporkan. Ini ada begini, ada khatib begini, namanya ini, pada jam sekian, di masjid ini. Sangat-sangat (penting) peran masyarakat karena ini ranah publik, ranah masyarakat," kata Marsudi.
Hasil survei BIN juga menemukan 70 persen guru agama terpapar radikalisme atau paham intoleransi. Mengenai hal itu, Marsudi menjelaskan fenomena semacam ini tiddak hanya terjadi di Indonesia. Bentuknya di tiap negara berbeda-beda, begitu pula cara menanggulanginya.
Lebih lanjut Marsudi mengungkapkan kiai, ustad atau ulama harus terus menerus menerangkan kepada masyarakat mengenai bahaya paham radikal dan terorisme, serta menyebarluaskan paham Islam yang moderat, toleran, dan penuh kasih sayang serta mau menerima perbedaan.
Marsudi menekankan beruntung sekali Indonesia memiliki banyak organisasi. Dia mencontohkan 14 organisasi kemasyarakatan secara terbuka menyatakan tidak setuju terhadap politisasi simbol-simbol agama.
Marsudi menyarankan agar penceramah atau khatib sadar untuk mempererat sekaligus memelihara ukhuwah Islamiyah. Sesuai ajaran Al-Quran, menurut dia, penceramah atau khatib dilarang memprovokasi, mengadu domba, atau mengajak membenci seseorang atau sebuah kelompok dan kaum.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Muhammadiyah Amin mengakui pendataan masjid di seluruh Indonesia yang dilakukan oleh Kementerian Agama belum menyentuh masjid-masjid yang berada di kantor pemerintahan.
Menurutnya selama ini masjid-masjid yang ada di kantor pemerintahan tidak ditangani langsung oleh pejabat-pejabat yang ada di kementerian atau instansi bersangkutan. Masjid-masjid itu dikelola oleh orang-orang yang tidak menjadi pegawai di kementerian atau lembaga tersebut.
Karena itu, Muhammadiyah mengatakan Kementerian Agama berencana melakukan pembinaan terhadap masjid-masjid di lingkungan pemerintahan yang sudah terpapar oleh paham radikal. Kementeriannya, lanjut Muhammadiyah, sudah menyurati kementerian dan lembaga bersangkutan agar ada perhatian serius terhadap ceramah atau khotbah di masjid lingkungan pemerintahan yang telah terpapar radikalisme.
Menurut Muhammadiyah, Kementerian Agama telah menyerahkan kewenangan kepada MUI untuk mengawasi penceramah atau khatib yang menyebar kebencian atau paham radikal. Sedangkan Kementerian Agama hanya melakukan pembinaan-pembinaan, dan meminta khatib membaca panduan khotbah.
Dari catatan BIN, tak hanya masjid yang terpapar radikalisme. Berdasarkan penelitian bersama salah satu universitas Islam di Jakarta terhadap guru agama di madrasah dari tingkat SD hingga SMA, 63 persen responden memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain.
Selain itu, ada juga temuan yang menyatakan 75,98 persen responden setuju pemerintah harus memberlakukan syariat Islam, kemudian 79,72 persen setuju umat Islam wajib memilih pemimpin yang memperjuangkan syariat Islam. [fw/uh]