Presiden Joe Biden, Kamis malam, akan menyampaikan pidato kenegaraan. Ia akan menggunakan kesempatan itu untuk mengumumkan bahwa ia telah memerintahkan militer AS untuk membangun pelabuhan di Gaza, guna memfasilitasi pengiriman bantuan yang sangat dibutuhkan orang-orang di Palestina yang terjebak serangan militer Israel melawan Hamas.
Rencananya, pelabuhan ini berupa dermaga sementara yang akan menyediakan kapasitas untuk ratusan truk bantuan tambahan setiap hari. Pengiriman pertama dijadwalkan tiba melalui Siprus dengan dukungan militer AS bersama koalisi mitra dan sekutu, kata seorang pejabat senior pemerintah yang tidak mau disebut namanya dalam pengarahan kepada wartawan pada Kamis.
“Kami akan berkoordinasi dengan Israel mengenai persyaratan keamanan di darat dan bekerja sama dengan PBB dan LSM-LSM kemanusiaan dalam distribusi bantuan di Gaza,” kata pejabat itu. “Kemampuan baru yang signifikan ini akan memakan waktu beberapa minggu untuk direncanakan dan dilaksanakan. Pasukan yang diperlukan untuk menyelesaikan misi ini sudah ada di wilayah tersebut atau akan segera bergerak ke sana.”
Pejabat itu mengatakan bahwa tidak akan ada pasukan AS yang dikerahkan ke Gaza. Militer AS, ia menambahkan, hanya akan menggunakan “kemampuan uniknya” untuk membangun fasilitas tersebut dari lepas pantai.
“Konsep yang telah direncanakan tersebut melibatkan kehadiran personel militer AS di kapal-kapal militer di lepas pantai tetapi tidak mengharuskan personel militer AS turun ke darat untuk memasang dermaga atau jalur yang memungkinkan diangkutnya bantuan kemanusiaan ke darat,” kata seorang pejabat senior pertahanan dalam kesempatan pengarahan yang sama.
PBB menyambut baik rencana pembangunan pelabuhan tersebut untuk meningkatkan pengiriman bantuan ke Gaza.
Juru bicara PBB Stephane Dujarric mengatakan, “Cara apa pun yang memungkinkan lebih banyak bantuan masuk ke Gaza, melalui laut maupun udara, tentu saja baik. Fokus kami, dan fokus komunitas internasional, tetap pada ditingkatkannya distribusi skala besar dan masuknya bantuan melalui jalur darat.”
Bantuan melalui darat, kata Dujarric, lebih murah dan lebih efektif secara volume. Itu yang telah PBB sampaikan sejak awal bahwa mereka membutuhkan dibukanya lebih banyak pintu masuk dan lebih banyak bantuan yang masuk melalui jalur darat.
Dujarric juga ditanya tentang kegagalan dalam perundingan gencatan senjata di Kairo sehingga semakin memungkinkan serangan Israel ke Rafah.
Ia menambahkan, "Fakta bahwa tidak ada kesepakatan sampai saat ini bukanlah kabar yang baik bagi rakyat Gaza; ini bukan kabar baik bagi para sandera dan keluarga mereka. Itulah kenyataannya. Kami berharap akan dicapai kesepakatan. Tentu saja, risiko aksi militer Israel yang lebih intens terus membayangi orang-orang di Gaza.”
Pekan lalu Biden memerintahkan militer AS bergabung dengan negara-negara lain untuk mengirim bantuan melalui udara, setelah “peristiwa tragis dan memilukan di Gaza Utara” di mana pasukan Israel melepas tembakan sewaktu kerumunan orang-orang Palestina berebut mendapatkan makanan dari konvoi bantuan. Lebih dari 100 orang tewas dalam tragedi tersebut.
“Orang-orang begitu putus asa sehingga – orang-orang yang tidak bersalah terjebak dalam perang yang mengerikan, tidak mampu memberi makan keluarga mereka, dan kalian melihat responsnya ketika mereka mencoba mendapatkan bantuan,” kata Biden dalam teguran yang jarang terjadi kepada Israel.
Ada rasa frustrasi yang meningkat di kalangan pemerintahan atas desakan Israel untuk menginspeksi kiriman bantuan sehingga memperlambat pengiriman bantuan. Padahal kalangan pakar di PBB sudah memperingatkan bahwa situasi di Gaza sangat buruk dan diambang kelaparan.
“Kami tidak menunggu Israel. Ini adalah momen bagi kepemimpinan Amerika, dan kami sedang membangun koalisi untuk mengatasi kebutuhan yang mendesak ini,” kata pejabat senior pemerintahan kedua, yang juga memberi pengarahan kepada wartawan.
Menurut pejabat-pejabat itu, Biden juga akan menggunakan pidatonya di depan Kongres untuk menyoroti penderitaan orang-orang Israel yang disandera Hamas, dan mendorong kesepakatan gencatan senjata sementara sebelum bulan puasa Ramadan yang dimulai akhir pekan ini. Kini nasib perjanjian tersebut, menurut pemerintah, berada di tangan Hamas, yang dinyatakan AS sebagai kelompok teroris.
“Kami menyadari bahwa para ekstremis akan mencoba menggunakan Ramadan untuk memicu sesuatu yang sangat disayangkan dalam bulan suci tersebut. Kami ingin memastikan bahwa bulan itu menjadi masa yang damai supaya orang-orang dapat beribadah,” kata pejabat senior pertama pemerintahan tersebut. Tetapi, ia menggarisbawahi bahwa belum diketahui pasti apakah kesepakatan itu bisa dicapai pada waktu yang diharapkan. [ka/jm]
Forum