Tautan-tautan Akses

Berbagai Krisis Jadi Ujian bagi Solidaritas Uni Eropa


Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini, memberikan keterangan kepada media sebelum KTT Uni Eropa mengenai isu migran di Brussels (23/9). Berbagai persoalan yang terjadi di Eropa, bisa merusak kepercayaan negara-negara anggota terhadap Uni Eropa.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini, memberikan keterangan kepada media sebelum KTT Uni Eropa mengenai isu migran di Brussels (23/9). Berbagai persoalan yang terjadi di Eropa, bisa merusak kepercayaan negara-negara anggota terhadap Uni Eropa.

Dalam beberapa bulan ini, Uni Eropa diguncang dua krisis, yaitu kekacauan politik yang dipicu oleh kesulitan ekonomi Yunani dan arus masuk ratusan ribu migran dan pengungsi.

Gejolak politik dan ekonomi di Yunani bulan Juni lalu mencapai puncaknya ketika para pemilih menolak syarat-syarat dana talangan Uni Eropa dalam sebuah referendum. Di bawah tekanan Brussels, Perdana Menteri Yunani Alexis Tsipras mengabaikan hasil referendum di negaranya, dan menandatangani perjanjian dana talangan itu.

Hasilnya sangat merusak kepercayaan Uni Eropa, ujar Andrea Mammone, sejarawan di Mammone of Royal Holloway University in London.

“Seorang politisi negara lain, seorang menteri negara lain, mengatakan “Anda harus memilih ini, Anda harus memilih itu”. Mengapa? Di mana aspek demokrasi dalam semua ini?,” kata Andrea.

Beberapa minggu kemudian gelombang ratusan ribu migran tiba di Eropa dan jumlah ini terus meningkat. Eropa dituding tidak peduli terhadap nasib buruk para pengungsi. Kurangnya solidaritas Eropa terlihat dalam isu ini, demikian ujar Andrea Mammone.

Ia menambahkan, “Perpecahan terjadi di antara negara-negara, di antara warga di dalam negara tertentu dengan pendatang, di antara pendatang sendiri, dan khususnya kini di antara beberapa negara tertentu dengan imigran yang datang dari wilayah lain di dunia”.

Menurut Christian Odendahl di Pusat Reformasi Eropa yang berkantor London, jawabannya bukanlah memecah Uni Eropa.

“Krisis pengungsi itu membutuhkan tanggapan bersama Eropa, dan ini bukan kesalahan Uni Eropa. Kalau ada negara yang tidak mampu memberi tanggapan sebagaimana yang dibutuhkan – misalnya dalam krisis ekonomi ini – kita justru memerlukan lebih banyak integrasi,” ujarnya.

Tiga puluh tahun lalu lima negara Uni Eropa menandatangani Perjanjian Schengen yang membentuk zona bebas perjalanan tanpa paspor, yang kemudian diperluas ke-26 negara Eropa.

Tetapi prinsip utama Uni Eropa tentang kebebasan melakukan perjalanan itu sedang diuji, setelah beberapa negara memberlakukan kembali pemeriksaan di perbatasan untuk mengatasi arus masuk migran. Hongaria telah membangun pagar kawat berduri di sepanjang perbatasan di selatan.

Menurut James Ker-Lindsay di London School of Economics, hal itu mengejutkan.

“Schengen adalah satu kemajuan besar Uni Eropa, gagasan pembebasan dokumen perjalanan telah membuka perbatasan. Dan melihat mulai ada pembatasan, ini sangat mengejutkan,” ungkapnya.

Kini muncul ancaman baru, Inggris akan melangsungkan pemungutan suara apakah akan keluar dari Uni Eropa sebelum tahun 2018. Jajak pendapat terakhir memilih keluar dari kelompok itu. Para analis mengatakan kalau itu terjadi, bisa fatal bagi Uni Eropa. [em/ii]

Recommended

XS
SM
MD
LG