Pameran tahunan ini merupakan ajang untuk menampilkan kain-kain tradisional Indonesia dan menjadi surga belanja bagi para pecinta dan pengguna kain adat. Acara ini berlangsung selama 4 hari, sejak tanggal 15 hingga 19 Februari 2012, di Jakarta.
Tahun ini diantara kain-kain tradisional Indonesia, hadir pula batik bergaya Amerika. Batik bergaya Amerika ini merupakan karya dari 9 orang warga Amerika yang menjadi pemenang dalam American Batik Design Competition (Kompetisi Desain Batik Amerika) tahun lalu yang digagas oleh Dino Patti Djalal, Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat.
“Ini merupakan pilot project KBRI di Washington DC. Ini pertama kali dilakukan di Kedutaan Indonesia di manapun, untuk mendorong perancang-perancang internasional mendisain batik. Style-nya bisa dengan style negara masing-masing tetapi nyawanya harus batik,” ujar Dubes Dino P. Djalal.
Menurut Dino, kompetisi desain batik ini bertujuan untuk mempromosikan batik dan menduniakan batik. Semakin dikenalnya batik di dunia akan mencerminkan kekuatan budaya Indonesia, meski pada perkembangannya batik bisa muncul dalam gaya yang berbeda-beda.
Dino menambahkan, “Dulu memang kita pernah khawatir, kok batik kita dicuri orang. Tetapi saya berfikirnya agak berbeda, bukannya justru kita mau batik itu menyebar ke seluruh dunia dalam bentuk dan warna yang berbeda-beda asal nyawanya tetap batik. Jadi dengan begitu batik akan tetap kuat, Saya ingin justru nantinya akan ada American Batik, Russian Batik, Batik Arab, Batik Latin, Batik Eropa dan lain-lain.”
Selain batik bergaya Amerika, Pameran tahun ini menyajikan kain tradisonal dari 400 stand yang berasal dari daerah di seluruh Indonesia. Ajang ini menjadi kesempatan berburu kain batik, kain ikat, lurik, songket, jumputan, sasirangan dan berbagai macam kain khas lainnya dengan corak dan desain terbaru dengan pilihan yang lengkap dan bermutu tinggi.
Salah satu yang ramai dikunjungi adalah stand dari Flores, Nusa Tenggara Timur yang menyajikan berbagai jenis tenun ikat. Alfonsa Horeng, seniman tenun ikat ini memperagakan cara pembuatan tenun ikat dan menjelaskan tradisi di daerahnya kepada para pengunjung pameran.
Alfonsa Horeng menjelaskan, “Yang begini lebih daripada pakaian. Kami menggunakan tenun ikat ini sebagai tanda sertifikat ganti nama, penyerahan hak tanah, atau sebagai tanda kekeluargaan, kekerabatan dan keluarga besar, diantarkan waktu pinangan, kematian, dan kelahiran. Tenun ikat merupakan tanda harga diri orang-orang lokal."
Kecintaan pada tradisi leluhur dan kekayaan pengalaman membuatnya kerap diundang ke berbagai acara untuk memperkenalkan tenun ikat ke mancanegara. Bagi dirinya tenun adalah sebuah semangat dan kebanggaan adat yang harus tetap dipertahankan.
“Tenun ikat ini lebih dari pada uang di adat. Jangan sampai besok lusa adat ini diganti dengan uang. Kami membuat tenun ini sesuai dengan apa yang kami punya, justru konsumen yang harus mengikuti kemauan kami dan bukan kami yang mengikuti kemauan konsumen,” demikian tutur Alfonsa Horang.