Tautan-tautan Akses

Banjir Bandang di Kota Batu, Dampak Kerusakan Hutan dan Hilangnya Kawasan Resapan


Tim penyelamat mencari korban selamat di tengah puing-puing pasca banjir bandang yang sejauh ini dilaporkan 11 orang hilang, di Malang, Jawa Timur pada 4 November 2021. (Foto: AFP)
Tim penyelamat mencari korban selamat di tengah puing-puing pasca banjir bandang yang sejauh ini dilaporkan 11 orang hilang, di Malang, Jawa Timur pada 4 November 2021. (Foto: AFP)

KTT Perubahan Iklim atau COP26 baru saja berlangsung di Skotlandia. Salah satu fokus pembahasan adalah mengakhiri deforestasi dan menekan emisi gas rumah kaca. Kerusakan alam dan lingkungan di berbagai wilayah, termasuk di Batu, Jawa Timur, menjadi potret urgensi penanganan masalah lingkungan hidup.

Banjir bandang merendam Desa Sumber Brantas, dan Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Kamis (4/11), setelah hujan deras mengguyur kawasan itu sejak sore hari. Banjir bandang ini mengakibatkan kerusakan sejumlah bangunan serta infrastruktur jalan, dan menimbulkan korban jiwa meninggal dunia maupun warga yang mengungsi.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, Rere Christanto, mengatakan bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya banjir adalah hilangnya kawasan resapan di Kota Batu. Ini terjadi karena alih fungsi kawasan hutan menjadi lahan pertanian maupun permukiman.

Warga dan tim penyelamat melakukan pencarian korban di tengah reruntuhan bangunan pasca banjir bandang yang sejauh ini dilaporkan hilang 11 orang, di Malang, Jawa Timur pada 4 November 2021. (Foto: AFP)
Warga dan tim penyelamat melakukan pencarian korban di tengah reruntuhan bangunan pasca banjir bandang yang sejauh ini dilaporkan hilang 11 orang, di Malang, Jawa Timur pada 4 November 2021. (Foto: AFP)

“Salah satu faktornya di banjir Kota Batu itu adalah semakin hilangnya kawasan resapan di Kota Batu itu sendiri. Jadi catatan kami dari analisa citra satelit yang dibuat oleh kawan-kawan Walhi, sekiranya ada 1.295 hektare kawasan hutan di Kota Batu itu yang sudah mengalami kerusakan, baik akibat pembukaan kawasan hutan untuk ladang, tegalan, permukiman sampai ke wisata," katanya.

Walhi, kata Rere, menyoroti perihal tata ruang yang tidak diperhatikan oleh pemerintah daerah dalam membangun wilayahnya. Penataan ruang yang tidak mempertimbangkan kelestarian kawasan-kawasan yang penting secara ekologis, seperti hulu, pegunungan dan hutan, kata Rere, berpotensi menimbulkan bencana di kawasan yang rentan terhadap perubahan bentang kawasan.

Alih Fungsi Lahan Berdampak Buruk

Pendiri dan Ketua PROFAUNA Indonesia, Rosek Nursahid, menyebut alih fungsi lahan hutan menjadi kawasan perladangan, mengakibatkan tekstur tanah menjadi tidak kuat terhadap gempuran hujan. Selain itu, kata Rosek, kejadian kebakaran hutan pada tahun 2019 di hampir sebagian besar lereng Gunung Arjuno, menyebabkan tidak adanya sistem perakaran dari puhon yang mati atau tumbang.

Sebuah desa mengumpulkan kayu bakar di hutan pinus di taman nasional Bromo Tengger di Lumajang, Jawa Timur pada 8 September 2009. (Foto: REUTERS/Sigit Pamungkas)
Sebuah desa mengumpulkan kayu bakar di hutan pinus di taman nasional Bromo Tengger di Lumajang, Jawa Timur pada 8 September 2009. (Foto: REUTERS/Sigit Pamungkas)

Kondisi ini, menurut Rosek, ditunjang adanya penerapan program perhutanan sosial oleh pemerintah sejak 2016, yang memungkinkan masyarakat mengelola hutan untuk meningkatkan kesejahteraan. Namun, Rosek menyebut penerapan dan pengawasan masih sangat lemah.

“Keseriusan pemerintah untuk melakukan rehabilitasi hutan itu masih pada taraf kulitnya saja, tetapi di lapangan saya kira masih setengah-setengah," katanya.

Contohnya, lanjut Rosek, hutan Gunung Arjuno yang sudah bertahun-tahun dibuka.

"Kalau kita lihat mulai dari Cangar, wilayah Tahura, kemudian sampai Batu, sampai ke arah Kebun Teh Lawang, itu kan sudah begitu masif hutan lindung yang dimanfaatkan untuk pertanian," tegasnya.

Warga berdiri di dekat sungai yang banjir di Mojokerto, Jawa Timur, menyusul hujan deras di wilayah tersebut pada Rabu, 4 Februari 2004. (Foto: REUTERS/Sigit Pamungkas)
Warga berdiri di dekat sungai yang banjir di Mojokerto, Jawa Timur, menyusul hujan deras di wilayah tersebut pada Rabu, 4 Februari 2004. (Foto: REUTERS/Sigit Pamungkas)

Rehabilitasi hutan dengan penyediaan bibit pohon tegakan, kata Rosek, harus melibatkan masyarakat di sekitar hutan, untuk menghutankan kembali kawasan yang gundul karena kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas budidaya.

Pakar geologi dari Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Amien Widodo, mengatakan perubahan secara masif di kawasan hulu menjadi penyebab banjir bandang di Kota Batu dan sekitarnya. Kawasan puncak gunung yang gundul diperkirakan menjadi penyebab utama bencana ini, karena tidak ada lagi kawasan yang menjadi resapan air saat hujan.

Selain itu, erosi yang terjadi beberapa tahun sebelumnya mengakibatkan pendangkalan di jalur-jalur aliran air. Banjir bandang ini kata Amien Widodo, harus segera diantisipasi terhadap munculnya hujan susulan yang lebih besar, untuk mencegah kerusakan maupun jatuhnya korban yang lebih besar.

“Selama ini kalau gunung itu ada hutannya, jadi hutannya masih baik, itu hutan semusim 80 persen bisa meresap di puncaknya gunung tadi. Sekarang hutan tadi dibabat, dulu mungkin sedikit, dibabati semua, maka ini yang 80 persen tadi yang mengalir sebagai banjir. Potensi berikutnya ya bisa besar lagi, ini La Nina belum datang, masih musim hujan biasa ini statusnya," paparnya.

Antisipasi Hujan Susulan dan Dampaknya

Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengerahkan semua sumber daya untuk membantu mengatasi dampak bencana yang terjadi di Kota Batu, seperti pengerahan alat berat untuk proses evakuasi material yang dibawa oleh banjir bandang. Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, juga meminta percepatan pencarian korban banjir bandang yang masih belum ditemukan, serta antisipasi datangnya hujan susulan dengan intensitas yang lebih besar.

Seorang pengunjung berjalan saat gunung berapi Gunung Bromo Indonesia memuntahkan asap di sebelah gunung berapi Gunung Semeru (di latar belakang) seperti yang terlihat dari Gunung Penanjakan di luar Pasuruan, Jawa Timur, 14 September 2010. (Foto: REUTERS/
Seorang pengunjung berjalan saat gunung berapi Gunung Bromo Indonesia memuntahkan asap di sebelah gunung berapi Gunung Semeru (di latar belakang) seperti yang terlihat dari Gunung Penanjakan di luar Pasuruan, Jawa Timur, 14 September 2010. (Foto: REUTERS/

“Pada saat evakuasi seperti ini yang sudah tertumpuk lumpur dan barongan, dan seterusnya, memang membutuhkan bantuan anjing pelacak supaya bisa mengidentifikasi kira-kira titik mana korban yang sedang dicari itu bisa segera dievakuasi," kata Khofifah.

"Kalau tidak, ada prediksi BMKG kemungkinan akan ada hujan susulan. Oleh karena itu, maka butuh percepatan untuk pembersihan sampah, dan ini tidak bisa manual, maka butuh eskavator yang lebih besar," tambahnya. [pr/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG