Tautan-tautan Akses

Bagaimana 'Fintech' Bantu Perbaikan Ekosistem Pendidikan Indonesia?


Selain Pintek, ada beberapa fintech lain yang juga menyediakan pinjaman pendidikan, di antaranya Danacita, KoinPintar, Pinjaman Pendidikan Tokopedia, hingga Cicil (foto: VOA)
Selain Pintek, ada beberapa fintech lain yang juga menyediakan pinjaman pendidikan, di antaranya Danacita, KoinPintar, Pinjaman Pendidikan Tokopedia, hingga Cicil (foto: VOA)

Perusahaan teknologi finansial khusus pendidikan asal Indonesia bernama "Pintek" memperoleh garansi portofolio pinjaman dari AS setelah Presiden AS Joe Biden menghadiri KTT AS-ASEAN Oktober lalu. Perusahaan itu memiliki misi untuk mentransformasi dunia pendidikan tanah air. Pertanyaannya: Sebesar apa peran yang bisa dimainkan platform fintech dalam membantu perbaikan ekosistem pendidikan Indonesia?

Setelah Presiden AS Joe Biden menghadiri KTT AS-ASEAN akhir Oktober lalu, Gedung Putih mengumumkan sejumlah inisiatif baru untuk meningkatkan kerja sama strategis dengan negara-negara Asia Tenggara. Salah satunya, memberikan garansi portofolio pinjaman dari U.S. International Development Finance Corporation (DFC) kepada Pintek, perusahaan teknologi jasa keuangan (fintech) asal Indonesia, yang khusus memfasilitasi pinjaman pendidikan.

“Dengan pemberi pinjaman semakin yakin, semakin nyaman untuk memberikan pendanaan bagi sektor pendidikan di Indonesia, kesempatan untuk teman-teman kita, anak-anak kita untuk bisa mendapatkan pendanaan ini semakin lebar,” kata Tommy Yuwono, salah satu pendiri sekaligus direktur utama Pintek, saat berbicara kepada VOA secara virtual (15/11).

Tommy Yuwono (kiri) dan Ioann Fainsilber mendirikan Pintek tahun 2018 untuk mengisi ceruk yang belum banyak diisi oleh platform serupa lainny (courtesy: Pintek).
Tommy Yuwono (kiri) dan Ioann Fainsilber mendirikan Pintek tahun 2018 untuk mengisi ceruk yang belum banyak diisi oleh platform serupa lainny (courtesy: Pintek).

Mengutip situsnya, Pintek adalah “perusahaan inovasi keuangan” dengan misi mentransformasi pendidikan dan berkomitmen untuk memampukan ekosistem pendidikan di Indonesia. Itu sebabnya Pintek tidak hanya memberikan pinjaman kepada peserta didik, tetapi juga institusi-institusi pendidikan, baik formal dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, maupun informal seperti tempat kursus dan pelatihan; serta pengusaha pemasok peralatan dan perlengkapan pendidikan.

Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia yang Belum Terpecahkan

Seperti kebanyakan fintech di Indonesia, Pintek baru muncul pada dekade terakhir, tepatnya tahun 2018. Tommy mengaku, ia terinspirasi pengalaman pribadinya untuk mendirikan Pintek.

“Tahun 2010 saya hampir nggak bisa kuliah karena masalah biaya,” ungkap pria asal Jakarta itu. “Tapi pada saat itu saya nggak menemukan yang namanya pinjaman atau pendanaan khusus untuk pendidikan.”

Tommy, penyandang gelar sarjana bisnis dari Presetiya Mulya Business School pada 2014, lantas membangun perusahaan teknologi keuangan itu bersama Ioann Fainsilber, mantan technology private equity associate di perusahaan teknologi investasi global, Silver Lake Partners, di Inggris.

“Jika Anda lihat, sektor pendidikan di Indonesia secara keseluruhan sangat besar, kan? Salah satu yang terbesar di dunia – keempat terbesar – tapi masih banyak masalah mendasar yang belum dipecahkan,” ungkap pria asal Prancis yang bermukim di Indonesia sejak 2017 itu.

Masalah yang ia maksud di antaranya kualitas buruk sebagian besar sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia, lambannya proses digitalisasi, rendahnya angka partisipasi sekolah – terutama pada jenjang pendidikan tinggi – hingga lemahnya sistem evaluasi dan pelatihan tenaga kependidikan.

Menurut Statistik Pendidikan 2020 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), 70% ruang kelas pada setiap jenjang pendidikan dalam kondisi rusak.

Selain itu, dari 100 penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas, hanya 29 orang yang menamatkan pendidikan menengah atau sederajat dan hanya 9 orang yang menyelesaikan perguruan tinggi. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin tinggi angka putus sekolah.

Persentase lulusan perguruan tinggi berdasarkan status ekonomi pun timpang. Hanya 2,01% penduduk usia 15 tahun ke atas dengan status ekonomi terbawah yang menamatkan bangku kuliah, jauh lebih kecil dibandingkan mereka dengan status ekonomi teratas (24,8%).

Para pelajar mengikuti kelas daring selama pandemi dengan menggunakan telepon genggam dengan akses internet yang masih terbatas (AFP).
Para pelajar mengikuti kelas daring selama pandemi dengan menggunakan telepon genggam dengan akses internet yang masih terbatas (AFP).

“Pada intinya, kami menyediakan teknologi dan akses ke layanan finansial untuk benar-benar memulai siklus pertumbuhan virtual, yang saat ini perannya belum dimainkan oleh industri keuangan di Indonesia,” ungkap Ioann, yang duduk sebagai direktur.

Hingga November 2021, Pintek dan afiliasinya telah bekerja sama dengan lebih dari 2.750 institusi pendidikan dan 100 UKM pendidikan di 29 provinsi di Indonesia. Perusahaan itu juga telah melayani permohonan pinjaman lebih dari 3.000 siswa.

Dampak Pinjol Ilegal

Tommy tak menampik adanya tantangan untuk meyakinkan konsumen tentang platformnya di tengah berbagai pemberitaan negatif tentang fasilitas pinjaman online (pinjol) ilegal yang kerap berujung petaka. Tidak hanya konsumen perorangan, tetapi juga institusi pendidikan yang menjadi denyut nadi bisnisnya.

“Sekolah-sekolah tentu saja bertanya apakah kami sama dengan pinjol-pinjol ilegal itu,” ujar Tommy. “Bagaimana kami bisa menjelaskan bahwa kami… pertama, kami legal, dan tidak semua pendanaan fintech itu adalah pendanaan konsumtif, tapi juga untuk kebutuhan yang sifatnya produktif, seperti untuk pendidikan ini.”

Mereka juga memastikan perusahaan itu mematuhi regulasi pemerintah, dari mekanisme pemberian pinjaman hingga penagihan cicilan kepada peminjam.

“Kami yakin misi kami mulia, cara kami beroperasi juga selalu sesuai aturan dan seiring waktu kita akan bisa membedakan keduanya dengan mudah," kata Ioann.

Selain Pintek, terdapat fintech-fintech lain yang melayani pinjaman pendidikan di Indonesia, antara lain Danacita, KoinPintar dari KoinWorks, hingga Pinjaman Pendidikan Tokopedia.

‘Bisa Sangat Membantu’

Triningsih Purwito (30) adalah salah satu pengguna jasa pinjaman pendidikan. Ia mencicil biaya kursus bahasa Inggris kelas profesional yang ia ikuti di salah satu lembaga pendidikan nonformal di Jakarta.

“Kalau misalnya disuruh bayar full kan aku nggak bisa, tapi aku butuh banget nih untuk sekolah di sini,” ungkap Nin, sapaan akrabnya, kepada VOA dalam wawancara virtual (19/11).

Calon peminjam dapat mempelajari berbagai layanan pembiayaan pendidikan yang ditawarkan Pintek melalui situsnya terlebih dahulu (foto: VOA).
Calon peminjam dapat mempelajari berbagai layanan pembiayaan pendidikan yang ditawarkan Pintek melalui situsnya terlebih dahulu (foto: VOA).

Nin mengambil kursus itu untuk meningkatkan kompetensi sekaligus menopang profesinya sebagai ahli strategi kampanye komersial (campaign strategist) salah satu media rintisan di Indonesia.

Mulanya ia tidak tahu bahwa ada perusahaan-perusahaan teknologi finansial yang khusus memberikan pinjaman untuk kepentingan pendidikan. Hal itu baru ia ketahui setelah lembaga kursusnya memberikan pilihan skema pembayaran.

“Jadi, dari lembaga nonformal itu langsung menawarkan,” ujarnya, “Dia bilang, ‘ini harus dibayar lunas, kita nggak ada sistem down payment, terus kamu bayar bulanan. Tapi, kita punya rekanan untuk penjamin dana pendidikan yang bisa membantu kamu.’”

Baginya, keberadaan fintech pendidikan membantu orang-orang yang memiliki aspirasi untuk melanjutkan pendidikan, baik secara formal maupun informal, dengan skema pembiayaan yang meringankan.

“Menurutku fungsional banget sih, bisa sangat membantu,” ujar Nin.

Meski demikian, pemerhati pendidikan Ina Liem sangsi keberadaan platform fintech dapat mentransformasi dunia pendidikan di Indonesia. Menurutnya, layanan yang ditawarkan fintech dapat membantu permasalahan pembiayaan yang dihadapi masyarakat ekonomi lemah, namun tidak cukup signifikan untuk mengentaskan akar permasalahan pendidikan di tanah air.

Masalah yang dimaksud adalah korupsi dan kemampuan berpikir pelaku pendidikan. Ina mengkritisi kemampuan berpikir siswa Indonesia yang sejauh ini terjebak pada level pertama, yaitu hapalan. Padahal, pemerintah mendorong pengembangan ekonomi berbasis inovasi dan teknologi.

Menurut Taksonomi Bloom – model hirarki kemampuan kognitif manusia untuk tujuan pembelajaran dan pendidikan, terdapat enam level kemampuan berpikir. Secara berurutan dari bawah yaitu hapalan (knowledge/remember), pemahaman (comprehension/understand), penerapan (application), analisis (analysis), evaluasi (evaluation) dan inovasi (creation). Tiga level pertama disebut sebagai kemampuan berpikir tingkat rendah (low order thinking skills/LOTS), sementara sisanya disebut kemampuan berpikir tingkat tingi (high order thinking skills/HOTS).

Pemerhati pendidikan Ina Liem mengkritisi kemampuan berpikir pelajar Indonesia yang masih terjebak pada level terbawah dalam Taksonomi Bloom, yaitu level hapalan. (AFP)
Pemerhati pendidikan Ina Liem mengkritisi kemampuan berpikir pelajar Indonesia yang masih terjebak pada level terbawah dalam Taksonomi Bloom, yaitu level hapalan. (AFP)

Untuk itu, Ina berharap fintech pendidikan dapat fokus berperan sebagai solusi masalah tersebut.

“Pendanaan dari sisi pelatihan mungkin ya, dari sisi training untuk mendapatkan pelatihan yang dibutuhkan, karena sekarang lagi marak banget pelatihan guru-guru, karena gurunya sendiri kan juga banyak yang hasil didikan lama, yang LOTS. Sekarang, tahu-tahu mereka harus mengajar HOTS, keluar dari zona nyamannya," ungkap Ina.

Bagaimana 'Fintech' Bantu Perbaikan Ekosistem Pendidikan Indonesia?
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:08:47 0:00


Sementara itu, sejak pandemi, Tommy mengaku perusahaannya menyesuaikan ulang prioritas layanannya. Dengan risiko kredit konsumen yang meningkat akibat krisis ekonomi sejak pandemi, Pintek menurunkan jumlah pemberian pinjaman kepada konsumen perorangan. Saat ini perusahannya fokus pada klien institusi pendidikan dan penyuplai kebutuhan pendidikan.

“Karena nggak mungkin institusi pendidikan, nggak mungkin konsumen pendidikan, nggak mungkin guru-guru ingin meningkatkan kemampuannya tanpa pendanaan, tanpa likuiditas. Itu tidak mungkin,” pungkasnya. [rd/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG