Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Rudy Suhendar kepada VOA hari Minggu (23/12) mengatakan gelombang tsunami yang terjadi di Selat Sunda belum tentu diakibatkan oleh aktivitas Gunung Anak Krakatau.
Ia menjelaskan bahwa Gunung Anak Krakatau sudah mengalami erupsi sejak akhir Juni lalu, bahkan dengan kekuatan dan intensitas lebih besar dari yang terjadi pada saat terjadi gelombang tsunami Sabtu malam. Selama ini erupsi itu tidak memicu tsunami sama sekali.
Pihaknya pun sampai saat ini masih mendalami apakah material yang berasal dari letusan Gunung Anak Krakatau tersebut mengakibatkan longsoran di bawah laut. Karena kalau pun terjadi erupsi lebih besar, kecil kemungkinan ujar Rudy, akan memicu longsor di bawah laut. Dibutuhkan material yang besar dan masif, serta tenaga yang juga sangat besar untuk mengakibatkan longsor di bawah laut, yang kemudian memicu tsunami.
“Yang untuk menggerakkan atau menjatuhkan material itu harus masif. Artinya kalau untuk yang sebesar tsunami yang dalam tanda kutip tadi, itu perlu material yang cukup masif, padat, besar, karena bisa menggerakkan air yang sedang bergelombang, berarti harus besar. Nah baik yang dipermukaan longsor ke bawah, ataupun yang dibawah laut. Nah untuk membuat longsoran yang besar itu perlu tenaga yang besar juga. Dari catatan seismik teman-teman dari pos pengamatan gunung api, itu tidak ada yang istimewa, intensitasnya sama dengan letusan beberapa hari yang lalu,” ungkap Rudy.
Badan Geologi: Jika Tsunami Disebabkan Erupsi Gunung Anak Krakatau, Ini Kejadian Langka
Rudy juga menjelaskan bahwa sampai sekarang pun anak gunung Krakatau juga cenderung aktif. Ada letusan dan abu hingga ketinggian 200-300 meter, tetapi tidak memicu tsunami.
Rudy menggarisbawahi bahwa aktivitas vulkanisme tidak ada kaitannya dengan bulan purnama.
Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa pada tahun 1883 ada aktivitas vulkanisme yang mengakibatkan tsunami. Ketika itu letusan Gunung Krakatau menyebabkan amblas ke bawah laut dan mengakibatkan tsunami yang cukup ekstrem. Sejak saat itu belum pernah ada fenomena tsunami karena aktivitas vulkanisme.
Menurutnya, kalau memang tsunami yang terjadi Sabtu malam akibat erupsi gunung merapi, maka ini merupakan kejadian langka. Oleh karena itu Rudy merekomendasikan masyarakat untuk tidak berada dalam radius dua hingga tiga kilometer dari Gunung Anak Krakatau.
BMKG: Ada Beberapa Fenomena dalam Tsunami Sabtu (22/12) Malam
Sementara itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati kepada VOA juga menjelaskan, bahwa ada beberapa fenomena yang terjadi dalam bencana tsunami Sabtu malam. Pertama, fenomena atmosfir yang berinteraksi dengan laut yang mengakibatkan adanya gelombang tinggi hingga dua meter. Lalu yang kedua fenomena erupsi gunung api.
Berdasarkan pencocokan data antara BMKG dengan Badan Geologi, ada korelasi terjadinya erupsi yang mengakibatkan aktivitas seismik itu. Walau pun demikian pihaknya masih akan mendalami dan bekerjasama dengan Badan Geologi guna memastikan bahwa tsunami itu disebabkan erupsi Gunung Anak Krakatau.
"Untuk saat ini kami menduga bisa kedua-duanya, bisa berupa memang gelombang tinggi karena fenomena atmosfir dan ocean berinteraksi, tapi bisa juga karena ada erupsi gunung api. Itu juga karena dipicu oleh itu tadi erupsi gunung api yang mengakibatkan longsor laut, itu juga bisa, dan kami masih mencermati juga, ini mendukung. Jadi kami menjadi pendukung badan geologi untuk menjajaki fenomena yang lain, karena ini merupakan kejadian langka meskipun lebih dari 100 tahun yang lalu itu terjadi,” ungkap Dwikorita.
Dwi menambahkan potensi gelombang tinggi yang diakibatkan oleh tsunami ataupun fenomena atmosfir diperkirakan akan masih terjadi hingga 26 Desember mendatang. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan tetap siaga dan waspada, dan jangan beraktivitas dekat dengan pantai dan laut. [gi/em]