Secara tradisional, olahraga di perguruan tinggi di Amerika biasanya tidak memperhitungkan keikutsertaan atlet Asia, walaupun mungkin di antara mereka ada yang berprestasi. Oleh karena itu, para mahasiswa Amerika keturunan Asia berpendapat bahwa demi keberagaman di arena olahraga, perguruan tinggi seharusnya mulai memikirkan perekrutan yang lebih inklusif.
Pemikiran tradisional tentang olahraga di perguruan tinggi di Amerika biasanya tidak memperhitungkan atlet keturunan Asia. Pemikiran demikian, menurut para mahasiswa Amerika keturunan Asia, membatasi kesempatan mereka dan menghalangi keberagaman di arena olahraga.
“Saya tahu, ketika masih muda saya melihat beberapa atlet pelari di berbagai universitas Ivy League yang benar-benar sukses, tidak satupun di antara mereka keturunan Asia,” kata Kieran Tuntivate, seorang atlet pelari keturunan Thailand yang baru lulus dari Universitas Harvard. “Jadi, sebenarnya tidak ada orang yang dapat saya lihat menjadi seperti saya atau menjadikan saya sebagai panutan.”
Ivy League adalah liga olahraga terdiri dari delapan perguruan tinggi riset ternama di wilayah timur laut Amerika. Julukan Ivy Leage, selain mengacu pada olahraga, juga kemudian merujuk pada keunggulan akademik. Ke-delapan perguruan tinggi yang dianggap elit itu adalah Universitas Brown, Universitas Columbia, Universitas Cornell, Dartmouth College, Universitas Harvard, Universitas Pennsylvania, Universitas Princeton, dan Universitas Yale.
Kembali ke pengalaman Kieran Tuntivate, pria berusia 23 tahun lulusan Harvard itu mengatakan dia yakin kurangnya panutan bagi atlet muda keturunan Asia di Amerika menyebabkan hilangnya keberagaman di arena olahraga.
“Saya kira hambatan apa pun yang ada, yang terutama adalah dalam hal keterwakilan,” katanya.
Tuntivate mengatakan hambatan lain juga ada, seperti asumsi bahwa atlet perguruan tinggi keturunan Asia tidak berkomitmen pada bidang atletik atau mereka mungkin mengesampingkan prestasi atletik demi mengejar prestasi akademik.
Dia memecahkan rekor lari satu mil dengan waktu empat menit pada Februari 2020, yang pertama di Universitas Harvard, dan memiliki IP antara 3,6 dan 3,7 pada skala di mana 4,0 adalah yang tertinggi.
Karir dalam cabang larinya yang sukses menjadi berita utama lokal dan internasional sementara dia berhasil menyeimbangkan tuntutan sebagai atlet dengan prestasi akademiknya.
Universitas-universitas Ivy League seperti Harvard tidak menawarkan beasiswa atletik. Sebaliknya, sebagian besar universitas yang terbagung dalam Lvy League – julukan untuk perguruan tinggi dan universitas AS yang mapan dan sangat kompetitif – menawarkan penerimaan mahasiswa berdasarkan kebutuhan yang memberikan bantuan keuangan kepada mereka yang telah diterima berdasarkan prestasi.
Selain itu, para pelatih boleh memberikan dukungan mereka kepada para pelamar, menurut situs web resmi Ivy League. Perguruan tinggi Ivy League mendasarkan keputusan penerimaan mahasiswa pada prestasi akademik, serta kemampuan dan pencapaian pribadi, yang dapat mencakup kemampuan atletik, menurut situs web itu.
Tuntivate mengatakan dia kenal dengan sebagian besar dari sedikit atlet atletik Amerika keturunan Asia yang ada di Ivy League. Dia menyebut temannya, Allen Siegler yang berdarah setengah Thailand dan belajar di Universitas Yale, yang dikatakannya memiliki “kekerabatan yang melekat” dengan dirinya.
“Kami tidak terlalu banyak membicarakannya, tapi saya pikir ada semacam kekerabatan yang secara inheren kami rasakan, karena kami berdua adalah warga Amerika keturunan Asia dan keduanya sebenarnya setengah-Thailand. Tidak banyak orang seperti kami dalam olahraga ini,” kata Tuntivate.
National Collegiate Athletic Association (NCAA), sebuah asosiasi nasional untuk atletik universitas yang mewakili atlet perguruan tinggi di seluruh Amerika, mengumpulkan statistik tentang keberagaman atletik di tiga divisi, yang masing-masing memiliki kebijakan berbeda yang diterapkan oleh lembaga-lembaga bersangkutan terhadap atlet perguruan tinggi.
Menurut NCAA, dari keseluruhan 498.691 atlet di tiga divisinya, 2 persen atlet diidentifikasi sebagai keturunan Asia, Hawaii, atau kepulauan-kepulauan di Pasifik, sementara 64 persen atlet berkulit putih.
Keberagaman dalam olahraga perguruan tinggi merupakan isu yang tidak hanya dihadapi oleh mahasiswa Amerika keturunan Asia dan Ivy League, kata Kristen Enriquez, mahasiswa keturunan Filipina berusia 21 tahun yang belum lama ini diangkat menjadi kapten tim sepak bola Universitas Yale.
Diskusi tentang keberagaman adalah isu yang “lebih besar” yang harus diperluas untuk mencakup berbagai etnis minoritas lainnya, kata Enriquez.
Situs web Dewan Presiden Ivy League mencatat bahwa “komitmen yang diperluas” terhadap keberagaman dan inklusi adalah nilai inti dari delapan universitas yang tergabung dalam Ivy League.
Pada tahun 2018, Victoria Chun ditunjuk sebagai direktur atletik Universitas Yale. Dia adalah orang Amerika keturunan Asia pertama dan wanita pertama yang diangkat ke posisi tersebut. Dia juga wanita keturunan Asia pertama yang memegang posisi itu dari ke-353 universitas yang tergabung dalam Divisi I NCAA.
Tidak lama setelah memulai posisinya, Victoria Chun mengatakan bahwa departemen atletik Yale akan mencari dan mendukung “berbagai macam bakat, etnis, latar belakang, dan pengalaman” dan bahwa keberagaman semacam itu akan membuat departemen atletik yang dipimpinnya “lebih kuat.” [lt/ab]