Demokrasi di Korea Selatan diuji dengan pemakzulan terhadap mantan Presiden Park Geun-hye baru-baru ini. Hukum ditegakkan sementara mantan pemimpin tersebut diadili atas tuduhan kejahatan yang terkait dengan skandal korupsi, yang memaksanya tersingkir dari kekuasaan.
Keputusan Majelis Nasional untuk memakzulkan Park pada Desember lalu sebagian dilandaskan pada tuduhan bahwa ia bersekongkol dengan teman lamanya, Choi Soon-sil, untuk memeras para konglomerat Korea agar menyumbangkan lebih dari 69 juta dolar ke dua yayasan yang tak jelas.
Dalam mendukung keputusan pemakzulan itu pada bulan Maret, Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa putusannya didasarkan pada legitimasi proses legislatif untuk menyingkirkan pemimpin eksekutif, dan bukan pada bersalah atau tidaknya terdakwa.
Park adalah pemimpin terpilih pertama yang disingkirkan dari jabatannya di Korea Selatan sejak demokrasi ditegakkan di negara itu pada tahun 1987.
Hari Kamis, mantan presiden itu kembali ke pengadilan dengan tangan diborgol untuk mengikuti hari ke-dua sidang terhadapnya.
Jaksa Lee One-seok menyebut pengadilan pidana pertama terhadap presiden yang dimakzulkan itu bersejarah sekaligus patut disayangkan dalam sidang pertama hari Selasa. Ia juga menyatakan sidang tersebut “menunjukkan kokohnya supremasi hukum.”
Park dikenai 18 tuduhan kejahatan terkait skandal pemakzulan yang mencakup penyuapan, dan telah ditahan di penjara selama berpekan-pekan sambil menunggu pengadilan terhadapnya. Pada sidang pertama hari Selasa (23/5), Park membantah semua tuduhan terhadapnya.
Pengacaranya, Yoo Yeong-ha, mengesampingkan bukti yang diajukan negara terhadap kliennya dengan menyebut bukti itu “didasarkan pada dugaan dan imajinasi.” [uh/lt]