Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Sukarno bersama wakilnya Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, namun kemerdekaan sejati dan diakui secara resmi diperoleh pada 27 Desember 1949, ketika Belanda akhirnya menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia. Selama masa sekitar empat setengah tahun Indonesia terus terlibat dalam serangkaian perundingan dan perang kemerdekaan di dalam negeri serta perjuangan melalui diplomasi di dunia internasional.
Robert J. McMahon, Ph.D, guru besar emeritus ilmu sejarah di Ohio State University yang berspesialisasi dalam sejarah hubungan luar negeri Amerika dan sejarah modern Amerika menceritakan bagaimana perjalanan tersebut. Menurutnya, Indonesia berhasil secara militer dan mampu menunjukkan kepada dunia internasional bahwa pada awal perjuangan kemerdekaan para pemimpin kunci Indonesia pro-Barat dan moderat. Para pemimpun NKRI dinilai tidak tertarik untuk mengakhiri hubungan perdagangan dengan Barat, atau menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.
Menurut Profesor McMahon, para tokoh Indonesia di bawah pimpinan Sukarno menyadari bahwa jalan menuju kemerdekaan akan lebih mulus jika para diplomatnya dapat menjelaskan pandangan moderat itu kepada para diplomat di PBB dan dunia internasional pada umumnya.
Profesor McMahon mengakui bahwa kebijakan Amerika terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia melewati serangkaian tahapan yang berbeda. Pada awalnya Amerika Serikat berusaha tetap netral, dan tidak ingin meninggalkan Belanda, sekutu penting Eropa. Di pihak lain, katanya, Amerika juga menyadari pentingnya menunjukkan simpati kepada negara-negara yang baru muncul di Asia dan bagian-bagian lain dunia, utamanya kawasan “Selatan Dunia,” termasuk Indonesia.
“Jadi, pada dasarnya Amerika gagal mengakui kemerdekaan Indonesia, meskipun para pemimpin Indonesia seperti Sukarno telah memohon pengakuan Amerika, karena Amerika mempertahankan posisi netralitas itu, dan cenderung condong ke Belanda,” ujar Profesor McMahon.
“Memang, Amerika menjadi salah satu anggota dari apa yang disebut Good Offices Committee of the United Nations (Komisi Tiga Negara PBB) pada tahun 1947, tetapi Komisi itu tidak memiliki kekuasaan dan hanya bisa memberikan rekomendasi,” imbuhnya.
Namun, Amerika melibatkan diri lebih serius ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II yang dimulai pada Desember 1948, dan dalam prosesnya melanggar kesepakatan yang dirundingkan dengan Komisi Tiga Negara PBB.
Profesor McMahon mengatakan Amerika terutama memainkan peran yang menentukan dalam tahap akhir perjuangan kemerdekaan RI, pada awal 1949, yang memaksa Belanda sampai pada keputusan untuk memulai Konferensi Meja Bundar dengan para pemimpin Republik dan akhirnya mengarah pada pengakuan formal kemerdekaan RI pada 27 Desember 1949.
Peran penting Amerika itu terbukti dari pembicaraan dalam pertemuan yang menentukan antara Menteri Luar Negeri AS Dean Acheson dengan Menteri Luar Negeri Belanda Dirk Stikker pada akhir bulan Maret 1949, di mana dalam pertemuan itu, Acheson menjelaskan bahwa jika Belanda tidak bergerak dengan sangat cepat untuk memulai perundingan serius dengan kaum nasionalis Indonesia dengan tujuan memberikan kemerdekaan yang murni, maka Amerika Serikat harus mempertimbangkan penarikan bantuan keuangannya ke Belanda.
“Ada ancaman tersirat, dan itu disampaikan dengan sopan dalam bahasa diplomatik, tetapi tetap saja itu jelas merupakan ancaman tersirat. Amerika Serikat memiliki pengaruh yang sangat besar pada pemerintah Belanda karena di bawah Marshall Plan, ekonomi Belanda menjadi sangat bergantung pada bantuan ekonomi Amerika," kata Profesor McMahon.
"Itu tentunya salah satu faktor kunci yang membuat Belanda memutuskan bahwa mereka tidak dapat memenangkan konflik secara militer tanpa membayar harga yang terlalu tinggi untuk kebutuhan politik luar negeri yang paling vital," lanjutnya.
Selain itu, serikat-serikat pekerja dan kelompok-kelompok liberal di Amerika mengadakan reli dan semakin keras menyuarakan dukungan bagi kemerdekaan Indonesia sekaligus menekan pemerintahan Presiden Harry S. Truman agar berbuat sama.
“Kelompok-kelompok progresif liberal dalam masyarakat sipil Amerika bersatu mendukung perjuangan Indonesia, dan juga gerakan buruh Amerika. Kongres Organisasi-Organisasi Industri tampil untuk mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia, NAACP mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia, dan ada banyak suara di Kongres Amerika yang mendukung," ujar Profesor McMahon.
"Jadi, yang terjadi adalah adanya tekanan pada pemerintahan Truman dari Kongres dan dari aliansi buruh, kelompok-kelompok yang memperjuangkan hak-hak sipil, kelompok Afrika-Amerika yang termasuk di antara mereka yang menyuarakan dukungan terkuat bagi rakyat Indonesia," katanya.
Keberhasilan militer Indonesia memadamkan aksi Partai Komunis Indonesia di Madiun pada September 1948 meyakinkan pemerintah Amerika akan Indonesia yang anti-komunis. Ditambah dengan suara keras dukungan rakyat Amerika berhasil mengubah kebijakan Amerika yang secara tradisional cenderung mendukung Eropa.
“Jadi, para pemimpin Indonesia mengirim semua sinyal ke Amerika dan Barat bahwa mereka moderat dan bisa diajak bekerja sama, dan itu merupakan keberhasilan para diplomat Indonesia, termasuk Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, dan Muhammad Hatta,” pungkasnya.
Hal senada disampaikan Romo Baskara T. Wardaya, S.J., Ph.D., sejarawan dan dosen Program Pasca Sarjana, Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta. Ia mengakui bahwa peran Amerika dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sangat kompleks dan panjang ceritanya, tetapi secara singkat bisa dikatakan bahwa Amerika memainkan peran sangat besar dalam proses perjuangan kemerdekaan Indonesia, terutama untuk mencapai pengakuan internasional pada tahun 1949.
Sebelumnya, Romo Baskara mengatakan, sewaktu Perang Pasifik masih berlangsung, Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt sempat menjanjikan kepada Ratu Wilhelmina dalam sepucuk surat yang kira-kira berbunyi: “Jangan khawatir, nanti setelah perang dunia ini selesai, Hindia Belanda (Indonesia) akan kami kembalikan kepada Belanda.”
Namun, Romo Baskara menambahkan, Presiden Roosevelt kemudian sadar bahwa ada Atlantic Charter di mana negara-negara yang dulu dijajah harus bisa menentukan nasib sendiri. Presiden Amerika itu lalu berubah pikiran dan ketika bertemu dengan Ratu Wilhelmina dia mengatakan bahwa Indonesia harus merdeka. Arah kebijakan Roosevelt berlanjut di bawah kepemimpinan Presiden Harry S. Truman.
Romo Baskara juga mengingatkan bahwa sebagai anggota Komisi Tiga Negara, ketika pembicaraan antara Indonesia dengan Belanda mengalami deadlock, Amerika kemudian menawarkan pembicaraan dilangsungkan di tempat yang netral, yakni di kapal Amerika USS Renville. Dia memuji keberhasilan diplomasi Indonesia sebagai unsur sangat penting dalam memenangkan dukungan Amerika dan negara-negara lain di dunia.
Sejarawan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu mengatakan telah menemukan dokumen penting. “Saya telah menemukan dokumen berupa telegram tahun 1948 yang dikirimkan oleh George Marshall, menteri luar negeri Amerika dan pencetus Marshall Plan, kepada duta besar Amerika di Den Haag yang mengatakan bahwa Amerika mendengar Belanda merencanakan Agresi Militer Kedua ke Indonesia dan Amerika menyatakan menentang rencana itu.”
Dia menambahkan bahwa dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949 Amerika menekan Belanda supaya segera mengakui kemerdekaan Indonesia. [lt/ab]