Di tengah-tengah seruan anggota parlemen AS untuk kembali memasukkan Korea Utara ke dalam daftar negara sponsor teror, menyusul pembunuhan saudara tiri pemimpin Korea Utara, para ahli kurang sepakat soal apakah kematiannya merupakan serangan teroris.
Ketua Komisi Luar Negeri Subkomisi Asia dan Pasifik di DPR AS, Ted Yoho, wakil Partai Republik dari negara bagian Florida, mengatakan kepada VOA ada "konsensus yang kuat" di Kongres untuk mengembalikan Korea Utara ke dalam daftar AS sebagai negara sponsor teror .
Kakak tiri Kim Jong-un, Kim Jong-nam, 45, meninggal 13 Februari lalu, setelah dua perempuan yang diduga mengoleskan racun VX di wajahnya di Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur, Malaysia. VX adalah bahan kimia sangat beracun yang digolongkan sebagai senjata pemusnah massal dalam Konvensi Senjata Kimia tahun 1993.
Sejauh ini Polisi Malaysia menahan kedua perempuan itu -- seorang di antaranya berkebangsaan Korea Utara dan yang lainnya warga negara Indonesia. Tujuh warga Korea Utara lainnya, termasuk seorang diplomat yang berkantor di ibukota Malaysia, saat ini dicari untuk ditanyai.
Meskipun polisi masih mencoba untuk menentukan apakah Korea Utara bertanggung jawab atas pembunuhan itu, badan intelijen Korea Selatan mengatakan, pembunuhan itu adalah tindakan teroris yang dipimpin oleh Korea Utara, menurut anggota parlemen Korea Selatan.
Saat ini, tiga negara yang masuk daftar Amerika sebagai negara sponsor teror, adalah Iran, Sudan dan Suriah. Mereka dikenai sanksi keuangan oleh AS, termasuk pembatasan bantuan asing, larangan ekspor dan penjualan senjata serta pengawasan atas bahan-bahan ekspor yang bisa digunakan untuk lebih dari satu keperluan.
Untuk memasukkan kembali Korea Utara ke dalam daftar, menteri luar negeri AS "harus menentukan" bahwa Korea Utara telah "berulang kali memberikan dukungan terhadap aksi-aksi terorisme internasional," menurut Departemen Luar Negeri. Namun hal ini mungkin sulit karena pemerintah dan Kongres AS seringkali tidak sepakat mengenai apa yang dimaksud dengan terorisme internasional yang disponsori negara. Pemerintahan Obama menolak seruan berulang kali dari Kongres untuk memasukkan Utara ke dalam daftar, dengan mengutip persyaratan perundangan untuk tindakan seperti itu.
Syarat Perundangan
Joshua Stanton, pengacara di Washington, D.C. yang mengkhususkan diri pada sanksi dan juga penulis blog berpengaruh One Free Korea, yakin bahwa pembunuhan Kim Jong-nam serta operasi-operasi serangan sebelumnya, memenuhi syarat perundangan untuk membuat Pyongyang kembali dalam daftar hitam terorisme.
Menurut Stanton, rezim itu telah mengeluarkan serangkaian aksi-aksi teroris seperti penembakan sebuah pulau Korea Selatan tahun 2010 dan serangan dunia maya terhadap Sony Pictures tahun 2014 yang secara luas diyakini untuk membalas film "The Interview", sebuah komedi laga tentang rencana pembunuhan Kim Jong-un.
"Saya kira akan sulit bagi pemerintahan sekarang untuk menahan tekanan untuk [mengembalikan Korea Utara ke dalam daftar] pada titik ini," ujar Stanton kepada VOA.
Stanton, yang juga penasiht Komite DPR untuk Urusan Luar Negeri, menambahkan hanya ada sedikit keraguan bahwa pembunuhan di Kuala Lumpur adalah aksi teroris karena senjata kimia terlarang yang digunakan terhadap seorang warga sipil di bandar udara umum di sebuah negara ketiga.
Anthony Ruggiero, yang bekerja pada pemerintahan AS selama lebih dari 17 tahun, mengatakan kepada VOA bahwa meskipun ada interpretasi legal terbatas dari aksi-aksi terorisme internasional, kasus Kim Jong-nam "mengkristalisasi upaya untuk melihat Korea Utara sebagai negara teroris."
"Saya kira bisa dilihat bahwa setidaknya sejak 2008, telah ada serangkaian aksi terorisme internasional yang mereka dukung, atau dalam kasus Kim Jong-nam, mereka lakukan sendiri," ujr mantan pejabat Departemen Keuangan tersebut, yang sekarang merupakan anggota senior di Foundation for Defense of Democracies.
Wilayah Abu-abu
Namun Daniel Benjamin, koordinator kontraterorisme di Deplu AS pada pemerintahan Obama, mengatakan bahwa pembunuhan di Malaysia tidak dapat langsung dikategorikn sebagai aksi terorisme.
Dalam wawancara dengan VOA, Benjamin, yang sekarang merupakan direktur Dickey Center for International Understanding di Dartmouth College, mengatakan kasus itu ada di "wilayah abu-abu."
Meski penggunaan bahan kimia mematikan dalam pembunuhan itu ada dalam parameter-parameter legal untuk menetapkan Korea Utara sebagai negara teroris, pembunuhan itu sendiri tidak dapat diinterpretasikan sebagai aksi terorisme, menurut Benjamin.
"Jadi ini kasus yang sangat tidak biasa," ujar bekas pejabat AS itu.
"Undang-undang dibuat sedemikian rupa saya kira sehingga pemerintah memiliki fleksibilitas tertentu untuk menentukan apakah sebuah negara berkualifikasi untuk disebut sebagai negara sponsor," tambahnya. [ps/hd]