Tautan-tautan Akses

AS Hampir Capai Keputusan terkait Perjanjian Keamanan dengan Arab Saudi


Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman menyambut kedatangan Presiden AS Joe Biden di Istana Al Salman di Jeddah, pada 15 Juli 2022. (Foto: Bandar Algaloud/Courtesy of Saudi Royal Court/Handout via Reuters)
Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman menyambut kedatangan Presiden AS Joe Biden di Istana Al Salman di Jeddah, pada 15 Juli 2022. (Foto: Bandar Algaloud/Courtesy of Saudi Royal Court/Handout via Reuters)

Pemerintahan Biden hampir mencapai titik pengambilan keputusan soal apakah akan melanjutkan perjanjian senjata dan keamanan bilateral dengan Arab Saudi, atau menangguhkannya dengan harapan kelak dapat dipasangkan dengan perjanjian trilateral yang telah sejak lama dinantikan untuk menormalisasi hubungan diplomatik Arab Saudi–Israel.

Untuk saat ini, para pejabat pemerintah AS mengatakan tidak ada yang dapat dilakukan hingga semua bagian dari teka-teki ini terselesaikan. Namun seiring terus berlanjutnya perang Israel-Hamas, para pengamat menilai tercapainya kesepakatan bilateral lebih awal akan membantu mengatasi pengaruh China di wilayah itu.

Persyaratan perjanjian Amerika Serikat–Arab Saudi ini belum diumumkan, namun kantor berita Reuters mengutip diplomat asing di wilayah Teluk dan sejumlah sumbernya di Washington DC pada awal bulan ini yang menyebutkan bahya syarat-syarat tersebut mencakup jaminan resmi Amerika Serikat untuk mempertahankan akses negara kerajaan itu mendapatkan persenjataan Amerika yang lebih canggih. Beberapa laporan lain mengatakan persyartan itu mungkin juga mencakup dukungan untuk program energi nuklir Arab Saudi.

Sebagai imbalannya, Arab Saudi akan menghentikan pembelian senjata dari China dan membatasi investasi China di negara itu, demikian laporan Reuters.

Kemerdekaan Palestina

Dalam konferensi pers pada 3 Mei lalu, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller mengonfirmasi bahwa kedua negara “sudah sangat dekat untuk mencapai kesepakatan tentang isu-isu bilateral.” “Ada sedikit rincian yang harus dirapikan, tetapi kami kira dapat mencapai perjanjian tentang rincian itu dalam waktu sangat singkat,” ujar Miller.

Meskipun demikian Miller mengakui “masih ada beberapa pekerjaan yang harus dilakukan dalam hal-hal terpisah, yaitu proposal jalan untuk sebuah negara Palestina… Arab Saudi sudah menegaskan dengan sangat jelas bahwa sebagai bagian dari kesepakatan normalisasi hubungan apapun dengan Israel, ada dua persyaratan yang diajukan – yaitu ketenangan di Gaza, dan jalan menuju sebuah negara Palestina yang merdeka.”

Ketika ditanya soal apakah pemerintahan Biden sedang mempertimbangkan untuk memajukan perjanjian AS–Arab Saudi secara terpisah, Miller mengatakan belum membahas hal itu. “Kami sudah memaparkan dengan sangat jelas, Arab Saudi juga telah memaparkan dengan sangat jelas, bahwa paket kesepakatan ini akan mencakup komponen bilateral dan sekaligus jalan bagi dua negara.”

Tantangan dalam mencapai kesepakatan

Namun, dalam sebuah kolom di majalah Foreign Affairs pada tanggal 8 Mei lalu, seorang peneliti senior di Dewan Hubungan Luar Negeri AS Steven A. Cook menilai kesepakatan trilateral tidak sesuai dengan kepentingan Amerika Serikat karena hal itu akan membuat hubungan Amerika Serikat–Arab Saudi bergantung pada hubungan masa depan antara Israel dan Arab Saudi.

“Jika komitmen AS terhadap Arab Saudi bergantung pada normalisasi Saudi dengan Israel, kemungkinan besar kualitas hubungan itu, yaitu hubungan Israel – Arab Saudi, akan membebani hubungan bilateral antara Washington dan Riyadh, baik dengan cara yang jelas maupun yang tidak jelas,” tulis peneliti senior dewan untuk isu Timur Tengah dan Afrika itu.

“Jika pemerintahan Biden menginginkan pakta pertahanan dengan Arab Saudi, mari kita lakukan. Harus ada alasan yang cukup kuat, dan presiden adalah seorang politisi yang cukup terampil untuk membujuk mereka yang skeptis,” pungkasnya.

Pengaruh China

Joshua Landis, kepala Pusat Studi Timur Tengah di University of Oklahoma, mengungkapkan pandangan serupa dalam sebuah wawancara dengan VOA, dan menyoroti beberapa keuntungan dari perjanjian yang lebih terbatas.

“Bagi Amerika Serikat, perjanjian ini membatasi investasi China di Arab Saudi, dan memastikan bahwa AS mempertahankan hubungan keamanan yang dominan. Sementara bagi Arab Saudi, perjanjian ini akan memberikan akses pada persenjataan Amerika Serikat yang lebih canggih sebagai imbalan atas penghentian pembelian senjata China, dan membatasi investasi China di Arab Saudi.”

Namun Anna Jacobs, analis senior di International Crisis Group yang berbasis di Doha, Qatar, mengatakan pada VOA bahwa kesepakatan bilateral – meskipun menarik bagi Arab Saudi – kemungkinan besar “tidak akan menjadi langkah awal” bagi pemerintah Biden yang telah sejak lama berupaya mencapai terobosan dalam hubungan Israel-Palestina, yang diharapkan akan dicapai lewat kesepakatan normalisasi.

“Sangat masuk akal bagi Riyadh untuk mencoba dan mengamankan kesepakatan bilateral dengan AS tanpa mengikutsertakan komponen terkait Israel. Normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel sangat tidak populer di Arab Saudi dan di seluruh kawasan itu, menjadi risiko politik sangat besar bagi Riyadh terutama saat berkecamuknya perang di Gaza saat ini,” tambahnya.

“Opsi rencana B akan secara signifikan menurunkan risiko bagi Arab Saudi, dan akan memberi mereka semua yang diinginkan dari Amerika Serikat tanpa harus memberi banyak imbalan. Namun opsi rencana B ini tidak akan berhasil bagi Amerika Serikat dan kemungkinan tidak akan terwujud,” tambah Jacobs.

Presiden dan CEO Center for International Policy yang berbasis di Washington DC, Nancy Okail, menentang perjanjian Amerika Serikat–Arab Saudi dengan atau tanpa komponen Arab Saudi–Israel yang lebih luas.

Berbicara pada VOA, ia mengatakan perjanjian pertahanan ini terutama untuk memenuhi kepentingan Putra Mahkota Mohammed bin Salman yang telah dipuji atas upaya modernisasinya, namun juga “menghadapi kritik tajam atas sejumlah pelanggaran HAM, mempertahankan pemerintahan yang opresif, dan menekan perbedaan pendapat, sebagaimana yang terjadi pada pembunuhan kolumnis Washington Post Jamal Khashoggi.”

Okail menambahkan perjanjian seperti yang sedang dirundingkan sekarang ini “berada di bawah gagasan yang salah, bahwa peningkatan senjata akan menciptakan keamanan yang lebih baik. Sejarah menunjukkan masuknya senjata justru memicu konflik dan perlombaaan senjata.” [em/rs]

Forum

XS
SM
MD
LG