Pakar penyakit menular terkemuka di AS mengatakan negara itu akan berpartisipasi dalam prakarsa global untuk menyediakan vaksin COVID-19 bagi negara-negara miskin.
Hal itu disampaikan Dr. Anthony Fauci, kepala Institut Nasional bagi Alergi dan Penyakit Menular serta kepala penasihat kesehatan untuk presiden baru AS Joe Biden. Ia mengatakan kepada dewan eksekutif Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hari Kamis dalam suatu konferensi video bahwa AS akan bergabung dengan Fasilitas Akses Global Vaksin COVID-19, atau COVAX, suatu aliansi internasional yang dipimpin WHO, Koalisi bagi Inovasi Kesiap-siagaan Epidemi dan Gavi, The Vaccine Alliance, organisasi yang didirikan Bill dan Melinda Gates untuk memvaksinasi anak-anak di negara termiskin di dunia.
Fauci juga mengatakan AS akan memenuhi kewajiban finansialnya untuk badan kesehatan PBB itu dan mempertahankan komitmen staf terdahulunya. Pernyataannya muncul sehari setelah Biden mengeluarkan perintah pada hari pertamanya menjabat yang berjanji akan memulihkan hubungan Washington dengan WHO. Pendahulu Biden, Donald Trump, pada Mei lalu mengumumkan bahwa ia akan menarik AS dari WHO, menuduh badan PBB itu membantu China menutup-nutupi tentang meluasnya virus corona, yang pertama kali dideteksi di Wuhan, China Tengah, pada akhir 2019.
“Ini hari baik bagi WHO dan hari baik bagi kesehatan global,” kata Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menanggapi pernyataan Fauci.
Dalam berita terkait, Reuters melaporkan prakarsa COVAX, Kamis (21/1) mengumumkan maksudnya untuk mengirimkan 1,8 miliar dosis vaksin COVID-19 ke negara-negara miskin pada tahun 2021, dan berharap dapat memenuhi kesepakatan memasok untuk negara-negara kaya pada semester ke-dua tahun ini.
Dunia berpacu melawan waktu untuk memproduksi dan mengirim miliaran dosis vaksin virus corona untuk menghentikan pandemi yang telah menewaskan 2 juta lebih dari total 96,9 juta kasus COVID-19 terkonfirmasi, sebut Johns Hopkins Coronavirus Resource Center. AS memimpin dunia dalam kedua kategori itu, masing-masing dengan 406 kematian dan 24,4 juta kasus.
Tetapi upaya-upaya vaksinasi menghadapi banyak kesulitan, termasuk hambatan logistik, kegagalan birokrasi dan kekurangan vaksin yang mendasar, yang menyebabkan warga di Amerika menghadapi penundaan vaksinasi.
Di Peru, sekelompok dokter melancarkan aksi mogok makan pekan ini untuk memprotes kurangnya persiapan pemerintah menghadapi gelombang kedua wabah COVID-19.
Dr. Teodoro Quiñones, Sekjen Serikat Dokter Peru, yang ambil bagian dalam aksi mogok itu dan sedikitnya enam dokter lainnya juga mogok makan. Mereka menjalankan aksi di dalam sebuah tenda darurat di luar kantor pusat kementerian kesehatan di ibu kota,
Quiñones mengatakan pemerintah belum memenuhi komitmennya untuk memperbaiki kondisi sistem rumah sakit di negara tersebut, menyebabkan dokter tidak memiliki pasokan oksigen, obat dan ventilator yang memadai. Ia mengatakan kepada harian The New York Times bahwa jaringan rumah sakit pemerintah Es-Salud memecat para spesialis COVID-19 setelah gelombang pertama wabah surut dan gagal merekrut mereka kembali sewaktu semakin banyak kasus mulai memenuhi unit-unit perawatan intensif rumah sakit.
Negara di Amerika Selatan itu memiliki 1.073.214 kasus virus corona terkonfirmasi, termasuk 39.044 kematian, sebut Johns Hopkins. [uh/ab]