Tingkat penyembuhan korban serangan jantung di Amerika adalah 1 banding 10 korban. Angka ini tidak beringsut selama 30 tahun terakhir. Namun, penelitian baru memperlihatkan kemungkinan situasi ini akan berubah.
Para peneliti di University of Michigan memperoleh temuan bahwa ketika pasien yang tinggal di daerah miskin menerima pelatihan CPR, atau bantuan darurat untuk orang yang terserang, korban serangan jantung punya peluang jauh lebih baik untuk selamat.
Ini berdasarkan pada temuan lain studi ini, bahwa warga di daerah miskin punya risiko dua sampai tiga kali lebih besar terkena serangan jantung, dibandingkan mereka yang tinggal di bagian yang lebih kaya dari kota.
Selain itu, perubahan gaya hidup, obat-obatan dan pengobatan baru juga bisa menjauhkan penyakit jantung.
Dokter ahli jantung Harindra Wijeysundera memperoleh temuan bahwa jumlah penderita penyakit jantung turun sebanyak 35 persen dikalangan warga Ontario, Kanada antara 1992 dan 2005. Menurut Dr. Wijeysundera, perubahan gaya hidup dan perilaku terkait erat dengan gejala ini. "Sekitar 48 persen dari pengurangan ini terkait dengan perbaikan factor-faktor risiko, seperti misalnya pengurangan tekanan darah dan kolesterol, serta penghentian kebiasaan merokok," katanya.
Kebiasaan merokok merupakan faktor pemicu utama penyakit jantung. Dan, selama studi ini berlangsung, jumlah warga Kanada yang punya kebiasaan merokok menurun dengan drastis.
Selama periode itu juga, para dokter meningkatkan penulisan resep untuk obat-obat yang mengendalikan tekanan darah, sehingga menyebabkan pengurangan dalam kematian akibat serangan jantung. Studi ini diterbitkan The Journal of the American Medical Association.
Faktor lain lagi adalah tersedianya alat-alat medis baru. Sebuah alat baru, yang ukurannya tidak lebih besar dari sebuah jepitan kertas, bisa mengubah drastis cara perawatan kegagalan jantung. Alat ini merupakan sebuah sensor kecil, yang ditanamkan di pembuluh ke paru-paru. Lewat alat ini pasien mengumpulkan data seputar tekanan jantung, data ini dikirim ke komputer dokter.
Lewat informasi ini dokter bisa mengubah pengobatan secara cepat, kalau dibutuhkan. Dengan alat sensor ini, pasien mempunyai peluang 30 persen untuk tidak harus melakukan rawat inap di rumah sakit.