Hani Hendrina, karyawati salah satu perusahaan swasta di Jakarta sangat yakin akan calon presiden dan wakil presiden yang dipilihnya, tapi tidak dengan calon legislatifnya. Dia mengaku memilih caleg dengan mengikuti pilihan orang tuanya, seorang caleg laki-laki. Hani enggan menyebut namanya.
Ketika ditanya kenapa tidak memilih caleg perempuan yang pastinya bakal menyuarakan hak-hak perempuan, atau setidaknya ikut memberi perspektif perempuan dalam setiap pengambilan kebijakan, Hani yang berusia 25 tahun mengatakan ia tidak mengenal calon legislatif perempuan yang ada, termasuk visi misinya.
“Tidak terlalu familiar sih, kurang tahu di masyarakat lebih kebanyakan yang cowok. Perlu sih sosialisasi seperti kayak anak muda, kita gak tahu seperti caleg-caleg perempuan, orang tua aja tidak tahu caleg perempuannya apalagi kita. Jadi fokusnya ke presiden aja,”ungkapnya.
Hal senada disampaikan Firda Sutomo, warga Depok, Jawa Barat, yang juga memilih caleg bukan berdasarkan gender, tapi gelar yang tersemat di nama caleg tersebut.
Firda sama sekali tidak punya gambaran tentang caleg perempuan yang ada dalam surat suara, tidak hanya identitas mereka tetapi juga apa visi misinya. Ironisnya meskipun ia juga tidak tahu tentang caleg laki-laki yang ada dalam surat suara, tetapi karena caleg laki-laki memasang banyak gelar pendidikan dan lainnya, Firda pun memilihnya. Ia menilai dengan gelar yang banyak, pastinya sang caleg laki-laki ini memiliki banyak pengetahuan dan bisa membawa kondisi yang lebih baik bagi Indonesia.
Meskipun demikian Firda mengakui pentingnya caleg perempuan di parlemen untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.
“Karena aku tadi nyari yang gelarnya sudah banyak ya, maksudnya dengan gelar itu mungkin dia lebih mengerti sama perputaran politik di Indonesia. Gak terlalu ya yang biasa aku lihat di poster di jalan banyakan cowok sih. Mereka sosialisasinya bagaimana tapi kalau dilihat secara keseluruhan banyak laki-laki sih,” kata Firda.
Potensi Terpilihnya Caleg Perempuan Tak Sesuai Harapan
Potensi terpilihnya perempuan yang menjadi calon anggota legislatif sejauh ini belum sesuai harapan, walaupun regulasi sudah mengamanatkan kebijakan kuota perempuan minimal 30 persen dalam daftar caleg di surat suara pemilu.
Jika dihitung secara akumulasi nasional, kuota perempuan dalam daftar caleg sebenarnya sudah mencakup minimal 30 persen. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) untuk calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPD, DPRD Provinsi, Kabupten/Kota. DCT untuk anggota DPR sebanyak 9.917, meliputi 18 partai politik peserta pemilu yang tersebar di 84 daerah pemilihan di 38 provinsi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 37,13 persen atau 3.676 adalah caleg yang bertarung itu adalah perempuan.
KPU melaporkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk pemilu tahun ini mencapai 204,81 juta jiwa. Jumlah ini terdiri dari 102,58 juta pemilih perempuan dan 102,21 juta pemilih laki-laki.
Kurang Sosialisasi
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan separuh dari populasi Indonesia adalah perempuan. Bahkan lebih dari separuh pemilih pada pemilu 2024 juga perempuan. Namun keterwakilan perempuan masih sangat minim.
Dalam negara demokrasi, tambah Titi, suara perempuan mutlak terwakili. Perempuan bukan hanya penting hadir sebagai representasi konstituen, tapi juga keterwakilan gagasan dan ide yang menyangkut kepentingan langsung perempuan. Banyak hal yang akan lebih baik jika disuarakan oleh wakil-wakil rakyat perempuan, misalnya soal hak reproduksi atau persoalan kesetaraan dan kebijakan lain.
Titi mengatakan konsolidasi pemilih perempuan diyakini akan menghasilkan lebih banyak wakil perempuan di berbagai jabatan publik yang dipilih dalam pemilu. Oleh karena itum penting untuk mensosialisasikan caleg perempuan dengan memilih mereka yang memiliki kredibilitas, kualitas dan rekam jejak yang baik.
Pemilih perempuan, tambah Titi, bukan individu tunggal yang seragam dan tanpa nilai. Pemilih perempuan juga dipengaruhi banyak kepentingan seperti pandangan agama, lingkungan sosial, politik, budaya, ataupun ekonomi.
“Sehingga pilihan politik mereka pun beragam. Tidak bisa dianggap tunggal. Namun, sangat perlu membangun narasi inklusif lintas isu dan aktor soal urgensi keterwakilan perempuan terlepas apapun latar belakang mereka. Oleh karena itu media punya peranan penting memberikan edukasi dan penguatan kepada pemilih perempuan untuk inklusif dan terbuka dalam melihat kepemimpinan perempuan serta tak ragu untuk memilih perempuan yang menjadi kandidat di pemilu,” ujar Titi.
Saat publik mendorong peningkatan keterwakilan perepuan, partai politik sedianya juga bekerja cepat melakukan kaderisasi, regenerasi, dan pendidikan politik bagi angota dan perempuan kader partai politik. Keberadaan caleg perempuan perempuan di setiap partai politik tidak boleh sekedar pelengkap untuk memenuhi syarat sebagai peserta pemilihan umum, papar Titi menutup pembicaraan. [fw/em]
Forum