Pengambilalihan kekuasaan oleh kelompok Taliban berlangsung dalam waktu yang sangat singkat di Kabul. Peristiwa itu dan kekacauan dalam proses penarikan pasukan dan warga Amerika keluar dari Afghanistan spontan mencemarkan reputasi pemerintahan Biden yang cemerlang sejauh ini. Namun, Gedung Putih yakin, masyarakat Amerika memahami bahwa penarikan pasukan Amerika dari Afghanistan memang benar-benar diperlukan.
Pada Mei lalu, jajak pendapat oleh Quinnipiac memperoleh temuan, 62 persen rakyat Amerika menginginkan Amerika keluar dari Afghanistan, dan hanya 29 persen yang menginginkan sebaliknya.
Selain itu, pemerintahan Biden yakin, warga Amerika merasa lebih mantap bahwa presiden mereka yang dalam kampanyenya pada 2020 berjanji mengakhiri “perang yang tidak ada ujungnya,” benar-benar memenuhi janjinya.
VOA menghubungi Dr. Suzie Sudarman. Pengajar di Fakultas Sosial Politik dan Direktur Pusat Studi Amerika, Universitas Indonesia, itu mengatakan, "Kuncinya adalah House Democrats (anggota DPR AS fraksi Demokrat) clear the path toward passing 3.5 trillion-dollar budget bill and infrastructure plan after breaking stalemate (meloloskan UU Anggaran senilai 3,5 Triliun dan rencana infrastruktur). Itu yang ditunggu bangsa Amerika, nanti dia (warga AS) lupa dengan isu foreign policy (kebijakan luar negeri) sebetulnya."
Ditambahkan oleh Sudarman, popularitas Biden turun sesaat karena pencitraan di media televisi.
"Ini kan hanya karena mereka, bleeding heart liberals (kelompok liberal), kalau melihat orang Afghanistan kesulitan itu kan jadi mem-blame (menyalahkan) pemerintahnya. Tapi America business is business, for average Americans (bisnis adalah bisnis bagi kebanyakan warga Amerika), I think this trillion-dollar bill yang akan keluar, sekalipun mereka berdarah-darah itu akan jadi clear path for a resurgence of an American economy (kalau RUU anggaran senilai 3,5 triliun dolar lolos maka akan membangkitkan ekonomi AS)."
VOA juga menghubungi Dewita Soehardjono, mantan ketua Democratic Asian Americans of Virginia (kelompok warga AS keturunan Asia pendukung Demokrat di Virginia). Dia sependapat dengan apa yang disampaikan Suzie Sudarman bahwa terpuruknya popularitas Biden merupakan fenomena yang tidak akan berlangsung lama.
"Saya kira semakin banyak orang mengerti the real situation di Afghanistan, mereka akan membela Biden. Presiden Biden tidak mengambil keputusan berdasarkan poll, tetapi apa yang terbaik untuk masyarakat Amerika. Jadi kita harus keluar, ngapain kita di situ nggak ada urusannya kok. Betul Biden bilang, we have no business being there (kita tidak ada kepentingan untuk terus berada di Afghanistan), nation building, nggak bisa. Ya hanya sementara (popularitasnya terpuruk)," ujarnya.
Perang di Afghanistan sudah berkecamuk selama 20 tahun tanpa ada tanda-tanda akan segera berakhir. Mulai dari Presiden George W. Bush, Presiden Obama, dan Presiden Trump, tidak ada pemimpin yang berani mengambil tindakan tegas untuk mengakhirinya.
Dari sudut pandang itu, Presiden Biden telah menunjukkan keberanian dan tekad untuk mengakhiri perang tak berkesudahan ini, dan kini dia hendak memusatkan perhatian pemerintah pada masalah domestik, serta memulihkan daya saing Amerika melalui dua paket investasi yang sangat besar, yakni paket infrastruktur bernilai $1 triliun, dan paket program sosial atau yang disebut RUU rekonsiliasi bernilai $3,5 triliun. [jm/ka]