Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai penembakan yang dilakukan aparat keamanan terhadap dua warga sipil di Nduga, Papua, akhir pekan lalu itu menunjukkan negara bertindak represif di Papua. Kata Usman, kedua orang yang ditembak itu merupakan ayah dan anak.
"Ini adalah tindakan yang tak terukur, brutal dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kami mendesak adanya investigasi segera, menyeluruh, independen, transparan dan tidak berpihak," ujarnya dalam keterangan resminya kepada VOA, Selasa (21/7).
Lanjutnya, kendati pelaku penembakan berstatus personil militer namun harus diadili di bawah yurisdiksi peradilan umum sesuai perintah Undang-Undang TNI. Penembakan tersebut bukan hanya merupakan pelanggaran disiplin tapi tindak pidana dan pelanggaran HAM.
"Jika otoritas hanya membawa kasus ini ke pengadilan militer, artinya negara gagal dalam memenuhi kewajiban internasional untuk melindungi hak asasi manusia setiap warganya. Termasuk gagal menegakkan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa setiap warga negara sama keduduannya di muka hukum," ucap Usman.
Bukan hanya itu, Amnesty International Indonesia juga meminta negara memberikan rehabilitasi, ganti rugi, kompensasi, dan jaminan tidak terulangnya kembali penembakan itu kepada keluarga korban.
"Proses dan hasil investigasi harus dipublikasikan serta diberikan kepada keluarga korban dan masyarakat umum," tutur Usman.
Pemerintah juga didesak untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM yang kerap terjadi di Papua. "Setiap kegagalan dalam menyelidiki atau membawa para pelaku insiden kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua ke pengadilan akan memperkuat keyakinan bahwa memang mereka berdiri di atas hukum," ungkap Usman.
TNI Pastikan Korban Penembakan adalah Anggota Kelompok Bersenjata
Secara terpisah Kepala Penerangan Kogabwilhan III, Kolonel Czi Gusti Nyoman Suriastawa dalam keterangan resminya mengatakan dua orang yang menjadi korban penembakan bukan warga sipil melainkan anggota KSB. "Korban yang tertembak tersebut merupakan anggota KSB di wilayah Kabupaten Nduga dan bukan masyarakat sipil (masyarakat yang tidak bersalah)," kata Nyoman.
Nyoman menjelaskan, dua orang KSB merupakan anggota dari kelompok Egianus Kogoya di distrik Kenyam. Kedua anggota KSB tersebut sempat bergabung dengan sekelompok masyarakat yang akan menyeberang sungai.
"Setelah menyeberangi sungai, masyarakat langsung dijemput oleh mobil bak terbuka menuju Kenyam. Tapi kedua orang KSB itu tidak ikut naik mobil. Tim terus melakukan pemantauan terhadap keduanya hingga dilakukan penembakan," jelasnya.
Kemudian petugas mendapati barang bukti berupa senjata api jenis revolver dengan nomor S 896209 dan barang bukti lainnya seperti ponsel milik prajurit TNI yang sempat dirampas pelaku, tas dua buah, parang, kapak, dan uang tunai Rp 9,5 juta.
Bupati Nduga, Yairus Gwijangge juga membenarkan bahwa dua orang yang ditembak itu merupakan anggota dari KSB. "Saya selaku pihak akan menjelaskan kepada masyarakat maupun keluarga korban bahwa yang tertembak itu merupakan bagian dari KSB dan bukan warga sipil yang tidak bersalah," ucapnya.
Sebelumnya, dua orang atas nama Selu Karunggu (20), serta Elias Karunggu (34) yang merupakan ayah dan anak tewas ditembak anggota TNI. Keduanya diduga ditembak oleh oknum TNI saat hendak menuju ke Kenyam, ibu kota Kabupaten Nduga.
Lokasi kejadian bertempat di kampung Masanggorak di pinggir sungai Kenyam. Oknum TNI menembak kedua korban dari pos darurat di pinggir sungai saat keduanya menyeberang sungai.
Merespons penembakan itu, masyarakat Nduga sepanjang hari Minggu (19/7) turun ke jalan, meminta agar jenazah kedua korban dimakamkan sore itu juga di pinggir lapangan terbang Kenyam. Mereka juga meminta Presiden Joko Widodo bertanggung jawab atas kasus ini dan menarik pasukan TNI serta Polri dari seluruh Kabupaten Nduga. [aa/em]