Amnesty International, Senin (25/10), menyatakan akan menutup dua kantornya di Hong Kong, dengan alasan keprihatinan mengenai UU keamanan nasional di kota itu.
Organisasi HAM itu telah hadir di Hong Kong selama lebih dari 40 tahun. Misi organisasi itu adalah “membangun kesadaran mengenai isu-isu HAM di kota itu.”
Menurut organisasi itu, kantor lokalnya akan ditutup pada akhir Oktober dan kantor regionalnya akan ditutup pada akhir tahun.
Penutupan itu berlangsung di tengah-tengah iklim politik Hong Kong yang berubah dengan cepat di bawah UU keamanan nasional.
Menyusul protes antipemerintah di Hong Kong pada tahun 2019, China memberlakukan UU keamanan nasional untuk kota itu. UU tersebut melarang pemisahan diri, subversi, terorisme dan kolusi dengan kekuatan asing.
UU itu mendorong penindakan keras terhadap pembangkang, dengan puluhan aktivis didakwa berdasarkan UU tersebut. Buku-buku prodemokrasi disingkirkan dari perpustakaan dan sekolah, dan slogan-slogan politik dilarang.
UU itu memuat ancaman hukuman penjara seumur hidup. Sejak pemberlakuannya, puluhan aktivis prodemokrasi telah didakwa, dengan sedikitnya satu orang dipenjarakan. Beberapa organisasi masyarakat lokal dan serikat pekerja Hong Kong juga telah berada di bawah tekanan, dengan banyak di antaranya yang ditutup.
Anjhula Mya Singh Bais, ketua dewan direksi internasional Amnesty, mengatakan dalam sebuah rilis pers bahwa UU keamanan nasional Hong Kong telah membuat organisasi HAM itu “mustahil” bekerja secara bebas dan tanpa takut pembalasan dari pemerintah. “Semakin sulit bagi kami untuk tetap beroperasi dalam lingkungan yang tidak stabil seperti ini,” kata Bais dalam pernyataan tersebut.
Amnesty memiliki kantor pusat di London dengan 10 juta anggota dan pendukung di seluruh dunia, serta beroperasi di lebih dari 70 negara.
Kantor-kantor Hong Kong memiliki kantor serupa di Bangkok, dan Amnesty terus melakukan riset dan kegiatan advokasi di negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik.
Sewaktu VOA meminta komentar lebih jauh dari kantor Hong Kong, tanggapannya ditujukan ke Kyle Ward, Deputi Sekjen Amnesty.
“Kantor-kantor Amnesty di seluruh dunia akan terus memantau dan menanggapi situasi HAM di Hong Kong. Kami tidak mengurangi peran atau sumber daya apapun yang didedikasikan untuk Hong Kong. Kantor Amnesty di Hong Kong adalah bagian dari kantor regional untuk kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara dan Pasifik, jadi pekerjaan yang dilakukan di Hong Kong akan berlanjut seperti sebelumnya, dari lokasi-lokasi berbeda termasuk di Bangkok dan di tempat-tempat lain di kawasan.”
Sari Arho Havren, analis China yang berbasis di Brussels, mengatakan kepada VOA bahwa penutupan kantor Amnesty di Hong Kong memprihatinkan.
“Penutupan kantor regional Amnesty International di Hong Kong merupakan tanda merisaukan mengenai bagaimana masyarakat madani di Hong Kong menghilang dan hanya suara-suara pro-Beijing yang tetap dibiarkan. Sewaktu organisasi seperti Amnesty tidak dapat beroperasi kembali, kewaspadaan harus muncul dengan kuat di semua negara demokrasi,” ujarnya.
Eric Yan-ho Lai, analis hukum dan politik dan ilmuwan di Fakultas Hukum Georgetown University, mengatakan kepada VOA bahwa penutupan itu “mengkhawatirkan” mengingat status internasional organisasi tersebut.
“Ada lebih dari 50 LSM, serikat mahasiswa dan serikat pekerja yang dibubarkan atau menutup kantor mereka di Hong Kong, tetapi penutupan oleh Amnesty Internasional itu lebih mengkhawatirkan karena ini adalah LSM internasional pertama yang menyatakan penutupan kantornya di Hong Kong,” ujarnya.
“Keputusan Amnesty Internasional merupakan pernyataan tidak percaya pada supremasi hukum dan peradilan yang independen dalam pandangan saya,” lanjutnya. [uh/ab]