Amerika Serikat pekan ini bergerak secara signifikan untuk memperkuat aliansinya di Indo-Pasifik, termasuk peningkatan besar-besaran komando militer AS di Jepang, di tengah ancaman keamanan yang dirasakan dari China.
Washington dan Tokyo bersikeras bahwa perubahan ini murni bersifat defensif, tetapi masih ada pertanyaan mengenai kesiapan militer Amerika Serikat dan sekutunya jika terjadi konflik.
Amerika memiliki sekitar 55.000 tentara yang ditempatkan di Jepang, dengan sebagian besar dari mereka dikerahkan di kepulauan Okinawa bagian selatan. Pangkalan Udara Kadena di luar ibu kota Okinawa, Naha, adalah pangkalan udara terbesar Amerika Serikat di wilayah Pasifik.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengadakan pembicaraan “2+2” dengan rekan-rekan mereka dari Jepang di Tokyo pada hari Minggu (28/7) dan mengumumkan perubahan besar dalam hubungan pertahanan.
“Amerika Serikat akan meningkatkan Komando Militer AS Jepang menjadi markas gabungan dengan misi dan tanggung jawab operasional yang diperluas. Ini akan menjadi perubahan paling signifikan pada Komando Militer AS Jepang sejak didirikan, dan salah satu peningkatan terkuat dalam hubungan militer kami dengan Jepang dalam 70 tahun terakhir,” kata Austin kepada wartawan.
“Keputusan kami untuk bergerak ke arah ini tidak didasarkan pada ancaman apa pun dari China. Hal ini didasarkan pada keinginan kami dan kemampuan kami untuk bekerja sama lebih erat dan lebih efektif,” tambahnya.
Komando militer yang ditingkatkan ini diperkirakan akan dipimpin oleh seorang jenderal bintang tiga, dengan kemungkinan seorang jenderal bintang empat di masa depan.
Para analis mengatakan bahwa hal ini menandai perubahan besar dalam pendekatan AS terhadap pasukannya di Jepang.
“Itu berarti Amerika serius. Amerika benar-benar serius untuk berperang bersama Jepang. Melawan siapa? Saya tidak tahu. Siapa pun yang ingin mengubah status quo dengan paksa, kita mungkin harus bertarung,” kata Kunihiko Miyake, Presiden Foreign Policy Institute yang berbasis di Tokyo, kepada VOA.
Langkah ini dirancang untuk melengkapi Komando Operasi Gabungan Jepang yang baru, yang akan diluncurkan pada Maret 2025.
Grant Newsham, peneliti senior di Pusat Kebijakan Keamanan yang berbasis di Washington, menyambut baik perubahan tersebut.
“Ini adalah langkah pertama yang baik ... untuk menempatkan Amerika dan Jepang pada posisi di mana mereka benar-benar dapat bertempur bersama,” katanya kepada VOA.
“Namun, yang masih harus dilihat – dan ini penting – adalah seberapa besar kewenangan yang akan dimilikinya? Unit-unit apa saja yang akan ditugaskan padanya? Tanggung jawab apa yang akan dimilikinya jika terjadi keadaan darurat?” imbuhnya.
AS dan Jepang juga menyetujui sejumlah langkah pertahanan lainnya, termasuk pengembangan rudal bersama dan kemungkinan pengerahan pasukan AS bersama pasukan Jepang di pulau-pulau terpencil.
Diskusi juga berfokus pada apa yang disebut “penangkalan yang diperluas” Amerika Serikat – apakah Washington bersedia menggunakan senjata nuklirnya untuk membela Jepang.
Kemampuan Jepang
Tokyo tahun lalu mengumumkan rencana untuk melipatgandakan belanja pertahanannya menjadi 2% dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2027.
Newsham mengatakan bahwa militer Jepang membutuhkan investasi besar dalam hal perekrutan, persenjataan, dan logistik.
“Jadi, ada sejumlah hal praktis yang perlu dilakukan Jepang untuk siap berperang. Dan kemudian Anda bertanya pada diri sendiri, 'Nah, bagaimana Anda akan benar-benar terhubung dengan Amerika untuk berperang? Sudahkah Anda melakukan perencanaan dan pelatihan yang diperlukan sehingga Anda bisa langsung terjun dan menghadapi kegentingan dunia nyata?” katanya.
Ada kekhawatiran bahwa kemungkinan seperti itu sudah sangat dekat. AS dan Jepang pada hari Minggu menyebut China sebagai “tantangan strategis terbesar” yang dihadapi kawasan ini; di tengah-tengah penumpukan militer Beijing yang cepat di Laut Cina Selatan yang disengketakan, dan latihan militer yang sedang berlangsung di sekitar Taiwan.
Presiden China Xi Jinping telah berjanji untuk menyatukan kembali pulau tersebut dengan China, dan ada spekulasi bahwa ia berencana untuk melakukannya dengan paksa.
'Kisi-kisi' aliansi
Di kawasan yang bergejolak seperti itu, para pejabat AS mengatakan bahwa Washington berusaha untuk menghubungkan aliansi regionalnya dengan Amerika Serikat dan satu sama lain, menciptakan kerangka kerja “kisi-kisi” untuk melindungi keamanan Indo-Pasifik.
Miyake mengatakan bahwa ada batasan untuk kerja sama semacam itu.
“Tentu saja, kita tidak dapat memiliki sistem aliansi kolektif seperti NATO, karena kita memiliki latar belakang sejarah yang berbeda. Namun, apa yang perlu kita miliki adalah pengaturan keamanan berlapis,” jelasnya.
Filipina muncul sebagai mitra utama AS di kawasan ini. Mengunjungi Manila pada hari Selasa (30/7) bersama Menteri Pertahanan Austin, Menlu Blinken mengumumkan paket bantuan militer senilai 500 juta dolar AS untuk Manila, dan menggambarkannya sebagai “investasi sekali seumur hidup untuk membantu modernisasi angkatan bersenjata dan penjaga pantai Filipina.”
Pengelompokan “Quad” yang terdiri dari Amerika Serikat, Jepang, India, dan Australia memberikan lapisan keamanan regional lainnya. Para menteri luar negeri dari negara-negara tersebut bertemu di Tokyo pada hari Senin (29/7), sehari setelah pertemuan bilateral AS-Jepang, dan mengeluarkan pernyataan bersama yang menyerukan Pasifik “bebas dan terbuka.”
Aliansi AUKUS antara AS, Australia, dan Inggris menawarkan ruang lingkup lebih lanjut untuk koordinasi keamanan di Indo-Pasifik.
Akan tetapi, aliansi militer yang efektif membutuhkan lebih dari sekadar perjanjian di atas kertas, demikian ungkap Newsham.
China skakmat?
Berbicara kepada ABC News pada tanggal 6 Juli, Presiden AS Joe Biden mengatakan bahwa jaringan aliansi yang telah dibangun Washington di kawasan Indo-Pasifik telah “mengalahkan” China. Newsham mempertanyakan pernyataan tersebut.
“Lihatlah operasi China di sekitar Taiwan. Ini terjadi tanpa henti, hampir setiap hari, dan hari demi hari mereka semakin dekat dengan Taiwan. Mereka mengepung Taiwan. Dan Anda mungkin bertanya kepada orang Taiwan apakah mereka berpikir bahwa China sudah skakmat,” kata Newsham.
“Selain itu, China dan Rusia melakukan lebih banyak hal bersama secara militer daripada yang pernah mereka lakukan sebelumnya, mengelilingi Jepang, mendekati Alaska dengan pesawat pengebom berkemampuan nuklir. Nah, China tidak menunjukkan tanda-tanda telah dikalahkan. Pembangunan militer mereka terus berlanjut,” katanya.
Tetapi nilai aliansi regional AS, terutama dengan Jepang, tidak boleh diremehkan, kata Miyake.
“Sekutu adalah orang atau negara yang berjuang untuk Anda dan berdarah untuk Anda. Siapa yang mau berperang melawan Amerika demi China? Saya tidak tahu. Bahkan Rusia pun tidak ingin melakukan itu,” kata Miyake.
Beijing menyangkal bahwa hal itu merupakan ancaman bagi keamanan Indo-Pasifik. Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri China mendesak AS dan Jepang untuk meninggalkan apa yang disebutnya sebagai “mentalitas Perang Dingin,” dan menambahkan bahwa bantuan militer AS senilai 500 juta dolar AS untuk Filipina akan meningkatkan rasa tidak aman.
Rusia pada hari Rabu (31/7) mengatakan bahwa AS dan Jepang tampaknya sedang mempersiapkan “konflik bersenjata berskala besar di kawasan Asia-Pasifik.” Wakil juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Andrei Nastasin mengatakan kepada para wartawan bahwa Moskow sedang berkonsultasi dengan China dan Korea Utara tentang cara terbaik untuk merespons. [th/lt]
Forum