Alya Sarah Lawindo, 19 tahun, tak seperti kebanyakan remaja di Amerika. Setiap akhir pekan, Alya mengajari anak-anak belajar mengaji secara virtual, dari rumahnya di Arlington negara bagian Virginia.
“Bunda dari dulu pernah jadi guru ngaji di madrasah sudah bertahun-tahun. Dan pas Alya sudah remaja, Alya mikir udah waktunya buat ngajarin anak, apalagi di komunitas Muslim Indonesia di Amerika sini,” ujar Alya kepada VOA.
Murid-murid yang diajarinya berusia lima hingga 12 tahun, seperti Souma.
“Dia baik… sabar… dan cantik,” kata bocah lima tahun ini kepada VOA.
Menjadi relawan madrasah telah dijalani Alya sejak lima tahun lalu.“Yang paling besar reward-nya jadi guru ngaji itu bisa lihat improvement anak-anak. Bulan pertama ngaji masih agak kaku, atau masih belajar tadjwid-nya. Pas sudah selesai, bisa keluar, bisa move on ke kelas yang berikutnya.”
Ketekunan Alya dalam menjadi relawan, diakui oleh IMAAM, organisasi yang mengelola madrasah, dengan memberinya Penghargaan Relawan Muda pada 2019.
Lestarikan Budaya Minang
Selain mengajar sukarela, mahasiswi S1 Hubungan Internasional di American University ini juga aktif melestarikan seni budaya Minang bersama Rumah Gadang USA. Sanggar itu didirikan pada 2007 oleh kedua orangtuanya yang berasal dari Sumatera Barat.
Sang Ayah, Muhammad Afdal, mengatakan, “Alhamdulilah waktu kita pertama kali (dirikan), Alya sangat berminat sekali karena waktu kecil kita kemana-mana selalu putar lagu Minang, di rumah pun kalau ada video, putar video Minang.”
Menurutnya penting untuk meneruskan budaya agar tidak luntur. “Saya melihat ini kalau kita tidak kenalkan, kita akan kehilangan generasi, mereka akan hanya kenal budaya Amerika saja,” tambah laki-laki yang berasal dari kabupaten Agam ini.
Sejak usia enam tahun, Alya mulai belajar tarian dan nyanyian Minang. Keterampilannya terus diasah. Kini dia fasih berbahasa Minang, pandai bermain biola, bermain Randai, teater khas Minangkabau, hingga berpantun.
“Tigo balai barumah gadang
adonyo di pakan sinayan
ambo ketek jolong ka gadang
kok salah tolong ingekan.”
Bersama Rumah Gadang USA, dia telah tampil dalam berbagai pertunjukkan di seluruh AS.
“Mengikuti bermacam festival di antaranya Richmond Folklife Festival, Smithsonian Folklife Festival, the Kennedy Center, dan negara bagian lain... Di samping itu kami sering mengisi acara budaya di KBRI Washington DC,” paparnya.
Dan saat pandemi, dia diundang mengisi seminar virtual sebagai “padusi milenial” oleh Minang Diaspora Network baru-baru ini.
Afdal mengaku bangga dengan putrinya yang tetap memegang teguh adat budaya, meski jauh di Amerika, seperti pepatah Minang, “Setinggi-tingginya bangau terbang, namun pulangnya ke kubangan jua. Sejauh-jauhnya pergi merantau, kampung halaman terbayang jua.” [vm/nr]