Kelompok hak asasi manusia (HAM) dan kubu oposisi yang berada di pengasingan menyatakan kekecewaannya atas kematian Presiden Iran Ebrahim Raisi karena kondisi tersebut berarti membuat Raisi tidak pernah diadili atas kejahatan yang dituduhkan kepadanya selama bertahun-tahun.
Raisi yang naik pangkat dengan cepat setelah Revolusi Islam Iran 1979, dituduh oleh para aktivis mengawasi eksekusi massal para tahanan pada 1988. Selain itu, Raisi dituding melakukan serangkaian pelanggaran HAM saat menjabat sebagai kepala kehakiman dan kemudian menjadi presiden.
“Ebrahim Raisi adalah simbol impunitas yudisial bagi para penjahat dan kurangnya akuntabilitas dalam sistem republik Islam,” kata Mahmood-Amiry Moghaddam, direktur kelompok Hak Asasi Manusia Iran yang berbasis di Norwegia, kepada AFP.
Dia “seharusnya diadili atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan dimintai pertanggungjawaban dalam pengadilan yang adil atas kekejaman yang tak terhitung jumlahnya yang dia lakukan selama empat dekade terakhir,” tambah Moghaddam.
Shadi Sadr, salah satu pendiri kelompok Justice for Iran yang memperjuangkan pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM di Iran, mengecam ucapan belasungkawa dari beberapa tokoh Barat, termasuk Presiden Dewan Uni Eropa Charles Michel, atas kematian Raisi dan menteri luar negerinya Hossein Amir-Abdollahian.
“Tindakan seperti itu dianggap sebagai pengkhianatan oleh banyak korban pelanggaran hak asasi manusia, sehingga memperdalam kekecewaan masyarakat Iran terhadap komunitas internasional,” katanya kepada AFP.
Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Kelompok HAM, termasuk Amnesty International, menuduh Raisi bertugas di "komite kematian" yang beranggotakan empat orang. Kelompok tersebut menyetujui eksekusi ribuan tahanan politik, yang sebagian besar diduga anggota kelompok pemberontak terlarang Mujahidin Rakyat Iran (MEK), pada 1988.
Raisi, yang sebelumnya dianggap sebagai calon penerus pemimpin tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, dengan tegas menyangkal keterlibatan pribadinya. Namun ia tetap memuji keputusan untuk melanjutkan eksekusi tersebut.
Pada September 2020, tujuh pelapor khusus PBB menulis surat kepada pemerintah Iran. Mereka mendesak pertanggungjawaban atas pembunuhan tersebut dan menyatakan bahwa "situasi tersebut bisa menjadi bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan".
Raisi dipromosikan menjadi kepala jaksa Teheran pada 1989 dan wakil kepala kehakiman pada 2004, jabatan yang diembannya selama satu dekade termasuk selama tindakan keras terhadap protes massal pada 2009.
Ia menjadi kepala peradilan pada 2019 dan menjadi presiden pada 2021. Pada 2022, pemerintahannya menerapkan tindakan keras terhadap protes yang dipimpin perempuan yang menyebabkan ratusan orang tewas, menurut kelompok hak asasi manusia.
Awal tahun ini, sebuah misi pencari fakta independen PBB menemukan bahwa pemerintahan Raisi melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan melalui “penindasan dengan kekerasan” terhadap protes dan diskriminasi terhadap perempuan.
"Simpatik terhadapnya adalah bentuk penghinaan terhadap para korbannya dan bangsa Iran yang menyesal karena dia tidak hidup cukup lama untuk melihat jatuhnya republik Islam, dan menghadapi pengadilan atas kejahatannya," kata Reza Pahlavi, putra shah Iran yang digulingkan dan tokoh oposisi terkemuka. [ah/rs]
Forum