Diskusi Forum Tanah Air bertema 'Silaturahmi Kebangsaan Diaspora bersama Tokoh dan Aktivis Nasional" di Jakarta Selartan dibubarkan paksa oleh sekelompok orang tak dikenal akhir pekan lalu. Diskusi itu sendiri dihadiri sejumlah tokoh yang sering mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo, termasuk pakar hukum tata negara Refly Harun.
Aksi premanisme yang meneror kebebasan sipil ini bukan kali pertama. Sehari sebelumnya, Aksi Global Climate Strike di Jakarta, yang berlangsung damai juga diintimidasi preman.
Direktur Eksekutif SAFEnet Nenden Sekar Arum mengatakan aksi pembubaran yang melibatkan pihak tidak dikenal menunjukan adanya ancaman serius terhadap ruang publik dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
“Tentu saja, pembubaran acara seperti ini nggak cuman menghambat kekebebasan berpendapat, tapi juga bisa menghalangi partisipasi publik untuk secara aktif berkontribusi dalam proses demokrasi. Harusnya diskusi itu menjadi ruang bagi masyarakat bisa menyampaikan aspirasi, kritik,” katanya kepada VOA.
Menurut Nenden, kasus-kasus pembubaran acara diskusi akan berbahaya bagi demokrasi. Dia menyebutkan penyebab pembubaran diskusi ada beberapa faktor, seperti intoleransi yang meningkat dan polarisasi isu politik dan sosial.
Maraknya pembubaran diskusi atau kegiatan bersama yang berlangsung damai, ungkapnya, juga disebabkan oleh polisi yang tidak bertindak tegas atau melakukan pembiaran.
Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menyuarakan perndapat serupa Dia menyayangkan adanya dugaan pembiaran oleh aparat kepolisian. Menurutnya pembubaran diskusi tersebut merupakan alarm nyaring yang menandai kebebasan sipil yang semakin menyempit dan demokrasi yang semakin menyurut.
Halili menegaskan polisi harus mengusut tuntas dan mempertanggungjawabkan kepada publik terkait penanganan yang dilakukan. Jika pembubaran diskusi dan kegiatan lain dibiarkan begitu saja bisa menciptakan budaya ketakutan di kalangan masyarakat dan menghalangi akses mereka untuk menyampaikan pendapat.
“Pembubaran diskusi melalui aksi premanisme tersebut merupakan alarm nyaring yang menandai bahwa kebebasan sipil semakin menyempit di tengah demokrasi yang semakin surut,” ungkapnya.
Anggota Komisi Hukum DPR Arteria Dahlan menyatakan aksi premanisme dan pembubaran paksa acara diskusi dan kegiatan lainnya merupakan preseden buruk terhadap kebebasan berpendapat di tanah air. Padahal kebebasan berpendapat, katanya, jelas tercantum dalam konstitusi negara.
Dia mengingatkan, aksi premanisme dan pembubaran paksa ini seharusnya tidak lagi terulang di masa depan dan mendesak Polri untuk bisa menindak dan memberikan sanksi tegas.
Wakapolda Metro Jaya, Djati Wiyoto membantah pihaknya melakukan pembiaran aksi premanisme terhadap kegiatan sipil yang berlangsung damai. Dia menegaskan, pihaknya tidak menoleransi segala bentuk premanisme.
Ia lebih jauh mengatakan, Polri terus memproses semua pihak yang terlibat, dan bahkan menyelidiki para anggotanya yang bertugas mengamankan pada saat aksi premanisme berlangsung. Tujuannya, kata Djati, untuk mengetahui apakah ada pelanggaran prosedur atau tidak. [fw/ab]
Forum