Aktivis perempuan Uighur dan Kazakh yang berada di garis depan kritik internasional terhadap kebijakan penindasan Beijing di Xinjiang mengatakan, mereka tidak akan berhenti melakukan advokasi setelah para pejabat China secara terbuka mencemarkan citra mereka.
Beberapa perempuan telah menjadi aktivis yang lantang di pengasingan, dan mengungkapkan kepada media internasional bahwa mereka mengalami perkosaan, penyiksaan, sterilisasi paksa, serta indoktrinasi oleh penguasa China di dalam kamp.
Dalam minggu-minggu terakhir, para pejabat China menuduh para aktivis itu melakukan perselingkuhan, menularkan penyakit seksual, dan melakukan penipuan uang untuk menunjukkan bukti dari perilaku mereka yang buruk.
Usaha untuk dilakukan Beijing untuk melemahkan kesaksian para aktivis perempuan tersebut, sementara pemerintah China semakin menghadapi tekanan internasional terkait penumpasan selama empat tahun terakhir terhadap warga kelompok etnis Turk (Turkestan) ini.
Namun, bagi para perempuan ini, kecaman Beijing ini justru membangkitkan tekad mereka untuk berbicara lebih banyak tentang pelecehan-pelecehan yang mereka alami selama ini.
“Sulit untuk dipercaya bahwa untuk meluluhkan kesaksian saya tentang perkosaan, penyiksaan, dan sterilisasi paksa, pejabat China mengatakan saya tidak subur,” demikian kata Tursunay Ziyawudun, seorang perempuan berusia 42 tahun yang selamat dari kamp di Uighur.
Ziyawudun diizinkan oleh pemerintah China melakukan perjalanan selama satu bulan ke Kazakhstan untuk bertemu dengan suaminya pada September 2019, setelah dia dibebaskan dari kamp di Xinjiang. Dia berhasil pindah ke Virginia, AS satu tahun kemudian.
Dia memberitahu VOA bahwa rahimnya harus diangkat setelah tiba di AS karena luka-luka yang dialaminya akibat pelecehan selama di Xinjiang. [jm/pp]