Belum lagi satu bulan para aktivis dan organisasi perempuan memuji sikap Lesti Kejora, bintang muda terkenal asal Jawa Barat, yang berani melaporkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan suaminya, Rizky Billar. Dalam laporan yang diajukan ke Polres Metro Jakarta Selatan pada akhir September itu Lesti, yang berusia 23 tahun, melaporkan dua tindakan pemukulan yang dilakukan Rizky, yang juga aktor dan pemengaruh (influencer) terkenal berusia 27 tahun.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bergerak cepat menyampaikan imbauan kepada seluruh media penyiaran untuk tidak menjadikan pelaku KDRT, terutama dari kalangan publik figur, sebagai pengisi acara atau penampil dalam semua program siaran.
Dalam wawancara VOA awal pekan lalu, Komisioner KPI Pusat Nuning Rodiyah mengatakan imbauan ini penting untuk memberi edukasi positif kepada publik dalam menyikapi kasus-kasus kekerasan terhadap siapa pun, terutama perempuan, sekaligus memberi penguatan kesetaraan gender dan perlindungan korban.
Meski tidak menyebut nama, imbauan itu disambut baik media, terutama stasiun televisi Indosiar, yang memberhentikan Rizky Billar sebagai pembawa acara Dangdut Academy 5, salah satu acara televisi yang digemari masyarakat.
Cabut Laporan, Picu Kekecewaan Publik
Namun semua dukungan itu tidak berhasil menguatkan Lesti Kejora, yang pada Jumat lalu (14/8) lalu mencabut laporan KDRT yang diajukannya ke polisi dan memilih berdamai. Berbicara pada wartawan, Lesti mengatakan mencabut laporan itu karena alasan anak.
“Bagaimana pun juga suami saya, bapak dari anak saya, dan beliau sudah mengakui perbuatannya dan meminta maaf kepada saya dan keluarga bapak saya,” ujarnya. Lesti menambahkan “keluarga saya sangat begitu memaafkan perbuatan suami saya, harapannya tidak akan terulang lagi,” jelasnya.
Sejumlah aktivis perempuan tak dapat menyembunyikan kekecewaan mereka dengan kejadian ini. Damaira Pakpahan, yang sudah puluhan tahun memperjuangkan kesetaraan gender, mengatakan pencabutan laporan KDRT ini menunjukkan “masih sangat kuatnya ideologi patriarki di berbagai ranah” sehingga membuat korban tidak berdaya.
“Korban kembali menjadi korban dan bukan survivor atau penyintas kekerasan karena setelah mengalami kekerasan, bukannya berdaya, ia justru berdamai dengan pelaku… Dampaknya cukup fatal karena upaya korban memberi pelajaran kepada pelaku seolah-olah hilang,” tambahnya.
Mantan komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati menyayangkan sikap Lesti Kejora di tengah begitu besarnya dukungan pada ibu muda itu. “Sikapnya akan merugikan perempuan korban KDRT lainnya, apalagi banyak kasus KDRT yang penanganannya justru tidak optimal dan efektif,” ujarnya. Pertanyaan berikutnya adalah apakah ada jaminan bahwa rumah tangga kedua bintang muda terkenal ini akan bebas dari KDRT.
Secara terpisah aktivis kekerasan domestik yang kini menetap di California, Ambar Briastuti, mengatakan meskipun sedih ia dapat memahami mengapa Lesti mencabut laporannya.
“Ini menyedihkan karena jika kita lihat Lesti Kejora, ia sudah memiliki penghasilan sendiri, keluarganya sangat dekat, Islami, ada banyak hal yang membuat ia dapat bertahan. Tetapi kenapa ia balik? Menurut saya karena ada superhero feeling pada diri korban. ‘Ah dia (Rizky Billar.red) akan berubah, cuma aku yang bisa mencintainya, kalau saya berubah mungkin dia akan berubah. Ada harapan semu yang selalu ditumbuhkan secara terus menerus, semacam fatamorgana. Pendampingan dan penguatannya akan sangat lama dan sulit, dan itu pun sekuat apapun pendampingan dan penguatan yang diberikan jika korban ingin balik pada pelaku, bagaimana lagi. Tetapi dari sisi psikologis, penguatan tetap perlu,” komentarnya.
Keadilan Restoratif Bisa Jadi Opsi
Sri Nurherwati mengatakan meskipun laporan pengaduan KDRT itu sudah dicabut, polisi tetap dapat melanjutkan kasus ini dengan menggunakan Peraturan Polri No.8/Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif. Menurutnya ini memang konsep baru dalam penegakan hukum pidana, yang mengakomodir norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat sebagai solusi dan sekaligus kepastian hukum demi keadilan masyarakat.
Keadilan restoratif adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali seperti keadaan semula.
Pelaksanaan PP No.8/Tahun 2021 ini dapat memberi dukungan bagi korban dan mengambil keputusan terbaik bagi korban, tambah Nurherwati.
Sementara Damaira Pakpahan menilai kasus Lesti-Rizky ini dapat menjadi saat yang tepat untuk mencermati pelaksanaan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tahun 2004, yang jelas-jelas mengatur definisi KDRT dan sanksi hukumnya. “Ketika melapor diketahui tersangka pelaku sudah sepuluh kali melakukan kekerasan fisik, ini belum bicara soal kekerasan verbal dan kekerasan ekonomi. Ini berarti negara harus mengintervensi pelaku, selain diberi sanksi hukum, juga diwajibkan mengikuti konseling wajib. Sementara korban harus kita kuatkan dan diberdayakan.” [em/ab]
Forum