Tautan-tautan Akses

Akankah Kesenjangan Gender yang Tajam Dorong Pemilih Perempuan Dukung Kamala Harris?


Sejumlah perempuan memegang spanduk sambil mendengarkan Wakil Presiden Kamala Harris berbicara tentang kebebasan reproduksi di El Rio Neighborhood Center, Tucson, Arizona, pada 12 April 2024. (Foto: AFP)
Sejumlah perempuan memegang spanduk sambil mendengarkan Wakil Presiden Kamala Harris berbicara tentang kebebasan reproduksi di El Rio Neighborhood Center, Tucson, Arizona, pada 12 April 2024. (Foto: AFP)

Pemilihan presiden AS berlangsung sengit. Namun Kamala Harris unggul atas Donald Trump di kalangan kelompok perempuan, yang umumnya memberikan suara lebih tinggi dibanding laki-laki. Terlambatnya Harris ikut kontes Pilpres AS, memperlebar kesenjangan gender di antara partai-partai politik.

Sejak 1984 lebih banyak perempuan yang memberikan suara dalam pemilu presiden di Amerika Serikat. Sebagian besar pemilih perempuan memilih Partai Demokrat ketimbang Partai Republik. Masuknya Wakil Presiden Kamala Harris ke arena pertarungan politik pasca mundurnya Presiden Joe Biden bulan Juli lalu, tampaknya telah ikut menyemangati blok kelompok pemilih perempuan ini.

“Kami telah melihat pergeseran yang cukup signifikan di banyak demografi yang berbeda, tetapi hal ini terutama terjadi pada perempuan, yang sekarang jauh lebih mungkin untuk memilih kandidat presiden Partai Demokrat dibandingkan saat Biden kandidatnya," ujar Erin Covey, editor utama di The Cook Political Report.

Dalam pemilu tahun ini, sekitar satu dari lima perempuan mengatakan hak aborsi adalah isu utama mereka. Hakim-hakim Mahkamah Agung yang dinominasikan oleh Presiden Donald Trump pada 2022 ikut membantu menghapus hak-hak konstitusional untuk melakukan aborsi ketika secara resmi Roe v. Wade dibatalkan.

Hakim Samuel Alito mengatakan keputusan Roe 1973 dan keputusan pengadilan tinggi berikutnya yang menegaskan kembali Roe “harus dibatalkan” karena “sangat salah”, argumennya “sangat lemah” dan sangat “merusak.” Ia menyebut putusan itu sebagai “penyalahgunaan wewenang peradilan”. Trump ingin setiap negara bagian menentukan hukum aborsinya sendiri. Harris menginginkan undang-undang federal untuk melindungi kebebasan reproduksi secara nasional.

Calon presiden dari Partai Demokrat, Wakil Presiden Kamala Harris, menaiki Air Force Two, Senin, 9 September 2024, di dekat Bandara Internasional Philadelphia, di Philadelphia, Selasa, 17 September 2024. (Foto: AP)
Calon presiden dari Partai Demokrat, Wakil Presiden Kamala Harris, menaiki Air Force Two, Senin, 9 September 2024, di dekat Bandara Internasional Philadelphia, di Philadelphia, Selasa, 17 September 2024. (Foto: AP)

“Kamala berupaya menciptakan dunia di mana semua orang berhak mengambil keputusan sendiri, berhak atas tubuhnya, berhak menentukan pilihan," kata salah seorang pemilih di Wisconsin, Chloe Longmire.

Hal senada disampaikan Leticia Guillen, pemilih di Arizona.

“Saya suka pesan yang disampaikannya pada kelompok kelas menengah. Saya kelas menengah! Saya juga suka aturan hukum tentang hak-hak perempuan," ujarnya.

Di antara para pemilih perempuan, jajak pendapat terbaru menunjukkan bahwa Kamala Harris lebih unggul dibanding Donald Trump dengan selisih sembilan hingga 13 poin.

Salah seorang penyelenggara jajak pendapat, Paul Maslin di Pollster FM3 mengatakan, “Kamala mendapat banyak dukungan perempuan muda yang independen, pemilih nonpartisan di bawah usia 50 tahun – bahkan banyak di antaranya berusia di bawah 40 tahun – yang benar-benar bersemangat dengan pencalonannya.”

“Perempuan kulit hitam sekarang lebih cenderung memilih Kamala. Perempuan Hispanik juga begitu. Jadi, seperti yang kita lihat, Kamala bekerja lebih baik di banyak demografi ras tertentu atau demografi pendidikan, atau gender. Dari situlah perubahan itu berasal," tutur editor The Cook Political Report, Erin Covey.

Namun pendukung Trump tetap mengkritik performa Kamala. Seperti T. Stanley, pemilih di Georgia.

“Pertama, sebagai kandidat, sungguh ini mengerikan bagi saya, karena dia tidak siap menjadi presiden," katanya.

“Tiba-tiba, Kamala Harris menjadi calon presiden dari Partai Demokrat, padahal dia tidak pernah dicalonkan sejak awal. Dia muncul entah dari mana," ujar Alex Lustig, pemilih di Montana.

Jajak pendapat yang dibuat David McLennan di Meredith COllege menunjukkan kesenjangan gender masih terjadi di kalangan generasi muda generasi Z, di mana mayoritas laki-laki berusia di bawah 27 tahun lebih memilih Trump.

“Ada peningkatan rasa kagum di kalangan pemuda Gen Z terhadap sikap angkuh atau menyombongkan diri. Sikap ini dianggap sangat macho, memberi pukulan langsung ke wajah lawan," kata David.

Wakil Presiden Kamala Harris di Gedung Kantor Eksekutif Eisenhower di Gedung Putih di Washington, AS, 18 Februari 2021. (Foto: REUTERS/Jonathan Ernst)
Wakil Presiden Kamala Harris di Gedung Kantor Eksekutif Eisenhower di Gedung Putih di Washington, AS, 18 Februari 2021. (Foto: REUTERS/Jonathan Ernst)

McLennan mengatakan laki-laki muda disosialisasikan secara politik melalui sumber-sumber online, di mana mereka sering melihat dan mendengar opini-opini yang tidak menyenangkan tentang pemimpin perempuan.

“Mereka percaya bahwa perempuan tidak dapat mengambil keputusan sulit jika Amerika berperang atau menghadapi krisis internasional. Mereka tidak percaya bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk bersikap tangguh dan mengambil keputusan yang sulit," kata David.

Perempuan kulit putih adalah kunci kemenangan Trump pada 2016. Dia juga memenangkan mayoritas perempuan kulit putih pada 2020. Dalam pemilihan kali ini, jajak pendapat terbaru menunjukkan Kamala Harris dan Donald Trump secara statistik sama-sama memiliki jumlah pendukung perempuan kulit putih yang sama. [em/jm]

Forum

XS
SM
MD
LG