Seniman Holly Herndon tidak bisa berbahasa Katalan. “Itu suara saya, tapi saya tidak menyanyikannya. Saya melatih sebuah AI dengan suara saya dan kini ia bisa menyanyikan apa pun dalam berbagai bahasa.”
Herndon dan timnya mengembangkan sebuah teknologi kecerdasan buatan model pembelajaran mesin dengan menggunakan suaranya. Mesin itu bisa membaca gubahan musik dalam berbagai bahasa dan rentang vokal mana pun.
Ia menyebut mesin itu sebagai “kembaran digitalnya” yang ia namai Holly+.
“Saya rasa banyak orang yang menganggap AI sebagai suatu kecerdasan asing yang datang entah dari mana, padahal sebenarnya AI adalah kumpulan kecerdasan manusia,” jelasnya.
Herndon mengatakan, segala jenis media yang dapat dibaca mesin bisa digunakan untuk melatih AI untuk membuat versi generatif tak terbatas.
Ini adalah versi “langsung” Holy+, di mana saat seseorang bernyanyi, secara bersamaan model pembelajaran mesin itu memproduksi musik dari suara Herndon. Musisi Pher memperdengarkan suara aslinya dengan mic yang satu dan bernyanyi menggunakan Holly+ pada mic yang lain.
Tidak seperti “deepfake” musik yang meniru musisi lain dan menyalin suara mereka, Herndon memandang model pembelajaran mesin sebagai cara artis terlibat untuk menciptakan konten yang unik.
“Saya rasa ini sekarang terasa sangat mengerikan dan saya sangat paham kenapa orang-orang merasa cemas, tapi di masa depan, ini bisa menjadi sesuatu yang sangat seru untuk dikulik dan ada cara bagi artis untuk tidak merasa seolah-olah mereka kehilangan kendali atas karya mereka,” imbuhnya.
Artis lain yang merangkul teknologi kecerdasan buatan adalah produser asal Nigeria Eclipse Nkasi. Nkasi melihat kesempatan sekaligus ancaman dari teknologi AI untuk membuat semua lagu dalam album Afrobeats di studionya di Kota Lagos.
Jika sebelumnya ia membutuhkan uang ribuan dolar dan waktu hingga tiga bulan untuk mengarang lagu, merekrut musisi, melakukan rekaman, hingga mengedit dan merilisnya, kini ia hanya memerlukan waktu tiga hari dan uang sebesar $500.
Nkasi dan tiga temannya menyalakan program ChatGPT milik OpenAI untuk membantu mereka menyusun album “Infinite Echoes” berisi sembilan lagu.
Mereka meminta aplikasi itu membuat lirik dan judul lagu secara otomatis sebelum mereka menyesuaikan kembali kata-kata dalam lirik tersebut agar cocok dengan tema yang mereka pilih.
Mereka kemudian menggunakan perangkat AI lain untuk membuat musiknya. Nkasi merekam suaranya dan memasukkannya ke dalam aplikasi lain, yang mengubah vokalnya menjadi suara dari penyanyi artifisial di album tersebut.
Kepada Reuters, Nkasi mengatakan, “Pada akhirnya, ini hanyalah alat. Itu sebabnya saya sangat mendukung penggunaan AI secara etis. Ke depan, saya berencana menggelar lokakarya dan pelatihan khusus untuk membantu insan kreatif lain merangkul AI, terutama secara etis, agar mereka tahu bahwa ada cara untuk memanfaatkan alat-alat ini untuk menyempurnakan karya yang kita ciptakan, alih-alih mencuri karya orang lain.”
Sementara itu, musisi Kanada Grimes tahun ini sudah lebih dulu meluncurkan perangkat lunak suara AI, dengan menggunakan teknologi seperti yang digunakan Holly+, yang memungkinkan orang lain menggunakan versi generatif suaranya untuk kepentingan komersial, selama bersedia berbagi royalti dari rekaman master mereka. [rd/lt]
Forum