Tautan-tautan Akses

Pengamat: Perseteruan Palestina-Israel Bukan Konflik Agama


Racelle Weiman, direktur Dialogue Institute di Temple University, AS. (VOA/Alina Mahamel)
Racelle Weiman, direktur Dialogue Institute di Temple University, AS. (VOA/Alina Mahamel)

Pengamat mengingatkan bahwa perseteruan antara Palestina dan Israel saat ini menyangkut batas wilayah, bukan konflik agama.

Racelle Weiman, direktur Dialog Institute dari Temple University di Philadelphia, AS, lembaga yang mengadvokasi dialog dan toleransi antara kelompok yang berbeda, mengatakan adalah suatu kesalahan besar jika orang menganggap perseteruan antara Palestina dan Israel saat ini merupakan konflik antara umat agama Islam dan Yahudi, karena konflik tersebut menyangkut batas wilayah.

“Masalah Palestina dan Israel saat ini adalah isu batas wilayah. Ini adalah isu politik, bukan konflik agama,” ujarnya pada ceramah mengenai pengajaran toleransi dan memerangi prasangka di Universitas Indonesia, Rabu (5/12).

Weiman menegaskan konflik Israel-Palestina merupakan isu politik akibat sengketa wilayah yang berlangsung sejak keluarnya Resolusi PBB No. 181/1947 yang membagi wilayah Palestina untuk bangsa Israel dan bangsa Arab.

“Israel sendiri bukan Yahudi. Penduduknya beragam, ada Yahudi, Muslim dan Kristen. Sama seperti Indonesia. Indonesia bukan Muslim. Mayoritas penduduk memang Muslim, namun Anda bukan Muslim,” ujar Weiman.

Menurut Weiman, banyak yang menjadikan keberagaman ini sebagai sumber konflik dan ancaman, karena secara alami kebanyakan dari kita takut akan perubahan dan hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda. Kita merasa lebih nyaman dan mudah saat hidup dengan orang-orang yang sama dengan kita, ujarnya.

Ia menyerukan adanya toleransi, yang dapat mengatasi semua perbedaan. Toleransi sendiri akan muncul jika ada ruang dialog, ujar Weiman.

“Dialog bukan hanya tentang berbicara, dialog adalah mendengarkan. Ini mengenai bagaimana kita belajar dan memahami perbedaan dengan yang lain. Sehingga kita dapat mengatakan, memahami orang lain adalah lebih penting.”

Sementara itu, berbicara mengenai toleransi yang ada di Indonesia, Alissa Abdurrahman Wahid dari Abdurrahman Wahid Center yang menyelenggarakan forum dialog ini mengatakan, sebagai bangsa yang dibangun atas berbagai suku, kelompok etnis, adat istiadat, bahasa dan juga agama, bangsa Indonesia juga harus kembali pada kesadaran bahwa Indonesia dibangun atas keberagaman.

“Indonesia ada karena keberagaman. Kalau tidak ada kesepakatan waktu itu, tidak akan ada Indonesia. Kesepakatan itu dibuat thun 1945, karena berbagai elemen yang ada di nusantara memilih untuk jadi Indonesia,” ujarnya.

Recommended

XS
SM
MD
LG