JAKARTA —
Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengakui bahwa dari sekitar Rp 170 triliun yang dialokasikan untuk Kementerian Pekerjaan Umum, hanya sekitar 50 persen yang sudah digunakan terutama, untuk pengembangan infrastruktur.
Usai rapat tertutup dengan menteri-menteri bidang ekonomi Kamis (1/11), Djoko mengatakan kementeriannya sudah berupaya maksimal membangun infrastruktur dengan cepat, namun ada beberapa kendala yang harus dihadapi.
Ia mengatakan pembebasan tanah merupakan proses yang paling sulit karena perlu pendekatan ke masyarakat setempat dan proses ganti rugi sehingga butuh waktu lama.
“Semua untuk infrastrukturlah karena memang kebutuhannya besar. Oleh sebab itu sudah akan dibahas mengenai persiapan tender untuk anggaran 2013. Saya minta pada November ini pengumuman lelang, tender-tender dan sebagainya sudah harus dimulai, kontrak ditandatangani setelah masuk ke anggaran yang baru,” ujar Djoko.
Pengamat ekonomi dari Universitas Paramadina, Wijayanto, menilai akan sia-sia jika pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tinggi tanpa diimbangi berbagai upaya untuk mencapainya, terutama dari segi infrastruktur. Ia mengingatkan infrastruktur merupakan sarana penting bagi aktivitas ekonomi.
“Pertumbuhan ekonomi itu merupakan modal besar untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Tapi harus kita lihat juga, kalau kita berbicara ekonomi yang tumbuh 6,5 persen ini kan ada faktor distribusinya, jadi barangkali banyak yang tumbuh sektor-sektor industri tertentu tetapi yang mengalami dan yang menikmati itu kelompok tertentu saja,” ujar Wijayanto.
“Biasanya masyarakat yang mempunyai dua masalah. Pertama tidak mempunyai kemampuan untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi, yang kedua yang mereka tidak mempunyai akses kepada aktivitas ekonomi.”
Ketua bidang energi dan pertambangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Herman Afif, tidak tersedianya infrastruktur memadai membuat pengusaha menilai hasil usahanya lebih baik diekspor daripada untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Pengusaha, ditegaskannya, sangat terganggu dengan biaya ekonomi tinggi dari berbagai pungutan tidak resmi, diantaraya dipicu oleh proses distribusi yang panjang dan rumit karena buruknya infrastruktur.
“Penyerapan batu bara dalam negeri baru 20 persen, penyerapan mineral mungkin baru 10 persen. Oleh sebab itu negara wajib membuat perencanaan yang baik agar [tahu] berapa banyak yang bisa diolah dalam negeri, berapa banyak diekspor,” ujar Herman.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyampaikan kementeriannya memahami pentingnya infrastruktur untuk menopang pertumbuhan ekonomi sehingga rencananya anggaran untuk Kementerian Pekerjaan Umum akan naik tahun depan menjadi sekitar Rp 204 triliun.
“Belanja infrastruktur bisa tembus Rp 200 triliun. Oleh karena itu kalau ingin melakukan pembiayaan infrastruktur yang dibiayai oleh pemerintah, kita perlu belanja [anggaran] yang lebih berkualitas,” ujar Agus.
Kementerian Pekerjaan Umum sering dikritik lemah dalam hal perencanaan sehingga yang terjadi setiap tahun adalah mempercepat proses pembangunan infrastuktur saat menjelang akhir tahun sekaligus berakhirnya masa berlakunya anggaran negara sehingga hasil kerja tidak maksimal dan tidak berkualitas. Kondisi tersebut mengakibatkan infrastruktur mudah rusak namun pemerintah tidak berupaya mengubah sistem kerja menjadi lebih baik.
Usai rapat tertutup dengan menteri-menteri bidang ekonomi Kamis (1/11), Djoko mengatakan kementeriannya sudah berupaya maksimal membangun infrastruktur dengan cepat, namun ada beberapa kendala yang harus dihadapi.
Ia mengatakan pembebasan tanah merupakan proses yang paling sulit karena perlu pendekatan ke masyarakat setempat dan proses ganti rugi sehingga butuh waktu lama.
“Semua untuk infrastrukturlah karena memang kebutuhannya besar. Oleh sebab itu sudah akan dibahas mengenai persiapan tender untuk anggaran 2013. Saya minta pada November ini pengumuman lelang, tender-tender dan sebagainya sudah harus dimulai, kontrak ditandatangani setelah masuk ke anggaran yang baru,” ujar Djoko.
Pengamat ekonomi dari Universitas Paramadina, Wijayanto, menilai akan sia-sia jika pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tinggi tanpa diimbangi berbagai upaya untuk mencapainya, terutama dari segi infrastruktur. Ia mengingatkan infrastruktur merupakan sarana penting bagi aktivitas ekonomi.
“Pertumbuhan ekonomi itu merupakan modal besar untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Tapi harus kita lihat juga, kalau kita berbicara ekonomi yang tumbuh 6,5 persen ini kan ada faktor distribusinya, jadi barangkali banyak yang tumbuh sektor-sektor industri tertentu tetapi yang mengalami dan yang menikmati itu kelompok tertentu saja,” ujar Wijayanto.
“Biasanya masyarakat yang mempunyai dua masalah. Pertama tidak mempunyai kemampuan untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi, yang kedua yang mereka tidak mempunyai akses kepada aktivitas ekonomi.”
Ketua bidang energi dan pertambangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Herman Afif, tidak tersedianya infrastruktur memadai membuat pengusaha menilai hasil usahanya lebih baik diekspor daripada untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Pengusaha, ditegaskannya, sangat terganggu dengan biaya ekonomi tinggi dari berbagai pungutan tidak resmi, diantaraya dipicu oleh proses distribusi yang panjang dan rumit karena buruknya infrastruktur.
“Penyerapan batu bara dalam negeri baru 20 persen, penyerapan mineral mungkin baru 10 persen. Oleh sebab itu negara wajib membuat perencanaan yang baik agar [tahu] berapa banyak yang bisa diolah dalam negeri, berapa banyak diekspor,” ujar Herman.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyampaikan kementeriannya memahami pentingnya infrastruktur untuk menopang pertumbuhan ekonomi sehingga rencananya anggaran untuk Kementerian Pekerjaan Umum akan naik tahun depan menjadi sekitar Rp 204 triliun.
“Belanja infrastruktur bisa tembus Rp 200 triliun. Oleh karena itu kalau ingin melakukan pembiayaan infrastruktur yang dibiayai oleh pemerintah, kita perlu belanja [anggaran] yang lebih berkualitas,” ujar Agus.
Kementerian Pekerjaan Umum sering dikritik lemah dalam hal perencanaan sehingga yang terjadi setiap tahun adalah mempercepat proses pembangunan infrastuktur saat menjelang akhir tahun sekaligus berakhirnya masa berlakunya anggaran negara sehingga hasil kerja tidak maksimal dan tidak berkualitas. Kondisi tersebut mengakibatkan infrastruktur mudah rusak namun pemerintah tidak berupaya mengubah sistem kerja menjadi lebih baik.